Kamis, 01 Juli 2010

Haruskah Menjadi Kartini (untuk) Memperjuangkan Emansipasi?

Liza Wahyuninto

Bulan April sudah menjadi agenda tahunan bagi wanita Indonesia untuk mengenang dan bersama merefleksikan perjuangan Raden Ajeng Kartini. Sejak ditetapkan oleh pemerintahan Orde Baru sebagai Hari Kartini, maka mulai saat itu pula, 21 April menjadi hari baru bagi wanita Indonesia untuk mengekspresikan. Semua wanita, mulai dari yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) sampai yang sudah duduk di kursi pemerintahan ikut merayakan hari bersejarah tersebut.
Kegiatan yang diadakan pun beragam, sesuai dengan tingkatan kelas dan di mana mereka berada. Mulai dari kegiatan membagikan bunga mawar dan ucapan Selamat Hari Kartini, aksi damai di jantung-jantung kota, berpakaian ala Kartini, hingga sampai pada mengadakan forum dan seminar-seminar yang mengusung semangat untuk melanjutkan perjuangan Kartini mewujudkan emansipasi bagi kaumnya. Dan uniknya, setiap tahun kegiatan tersebut selalu diupayakan untuk lebih meriah daripada tahun-tahun sebelumnya.
Sayangnya, momen seperti ini hanya dilakukan sehari saja di bulan April, pun satu kali dalam satu tahun. Dapat dikatakan puncaknya dapat dirasakan dan ditemui hanya pada tanggal 21 saja. Sebelumnya memang terlihat kesibukan-kesibukan mempersiapkan acara agar terlihat sempurna. Namun, pasca tanggal 21 kembali kepada kehidupan sebelumnya. Kartini, seolah dilupakan kembali siapa dia dan apa yang telah ia perjuangkan.

Memaknai Hari Kartini
Kita semua mengakui apa yang diperjuangkan oleh Kartini merupakan perjuangan yang tidak mudah. Pada zamannya, di mana wanita dianggap sebagai kelas kedua setelah laki-laki, Kartini berani menyuarakan kegelisahannya. Kartini berani meminta untuk disejajarkan dengan kaum laki-laki. Suatu pemikiran futuristik tentunya, berpandangan jauh ke depan. Pemikiran yang selama beberapa abad dipendam dan tidak ada satu wanita pun yang berani untuk menyuarakannya.
Lalu, pertanyaan pembukanya adalah bagaimana seharusnya memaknai hari Kartini? Kartini adalah fenomena. Zamannya menghendaki untuk melahirkan sosok wanita seperti Kartini. Sebagai pendulum (pendahulu) pastinya. Cara memaknai hari Kartini tentunya tidak sekedar ceremonial belaka. Bila Kartini masih hidup hari ini, tentu ia tidak menghendaki hari kelahirannya terlalu diagungkan, sementara perjuangannya dilupakan.
Yang penting bukan bagaimana cara merayakan hari kartini, tapi bagaimana cara melanjutkan perjuangan Kartini. Menyambung lidah Kartini. Melanjutkan catatan-catatan Kartini yang kesemuanya berisikan mimpi dan ide-ide besar bagi kemajuan kaumnya, yaitu wanita. Perayaan, dinilai penting iya, sebagai upaya untuk mengajak dan menyadarkan wanita Indonesia saat ini yang terkadang kehilangan kepercayaan diri. Namun, di balik itu, harus ada upaya yang lebih realistis untuk mewujudkan cita-cita Kartini.
Cita-cita Kartini sebenarnya hanya satu, terwujudnya emansipasi bagi wanita Indonesia. Namun, di balik emansipasi tersebut masih ada pekerjaan rumah yang menunggu untuk diselesaikan. Artinya, emansipasi bukanlah tujuan akhir. Tidak cukup wanita dan laki-laki disetarakan saja, tapi harus ada pembuktian berupa tidak lagi ditemuinya diskriminasi terhadap wanita dengan mengatasnamakan apapun.
Wanita saat ini tidak seperti dahulu. Sudah tampak dan dirasa jauh lebih maju. Sangat maju dibanding era Kartini. Wanita sudah dapat mengenyam pendidikan setinggi apapun ia mau. Wanita sudah dapat duduk pada jabatan apapun sesuai dengan kemampuan dan kapabilitasnya dalam bidang tersebut. Bahkan saat ini, wanita sudah tidak tabu lagi untuk menentukan arah tujuan hidupnya sendiri tanpa ada campur tangan dari kanan-kirinya.
Lantas, sudah cukupkah sampai di situ? Terwujudkah cita-cita Kartini? Jawabannya memang subyektif. Tapi, penulis berani menyatakan “belum!”. Cita-cita Kartini lebih tinggi dari itu. Saat ini masih ditemukan kesenjangan antara wanita dan laki-laki yang entah budaya atau sudah terstruktur dari awalnya, dan membutuhkan pejuang-pejuang wanita baru untuk mengawal hal tersebut. Dan namanya, tentu tidak harus Kartini.

Kartini Abad Modern
Setiap zaman memiliki ceritanya sendiri-sendiri, demikianlah peribahasanya. Semakin maju zamannya, maka akan semakin rumit permasalahannya. Tentu saja permasalahan yang baru, yang belum pernah ada pada zaman sebelumnya. Sejarah memang selalu mengulang, tapi tokoh-tokoh yang ada sebelumnya tidak akan terlahir kembali. Harus ada tokoh baru yang terlahir dan muncul untuk mengatasi permasalahan yang terjadi.
Nah, Kartini abad modern lah yang dibutuhkan. Kartini yang paham apa yang saat ini menjadi kegelisahan kaumnya. Kartini yang tanggap terhadap apa yang terjadi dengan kaumnya. Dan yang paling penting, adalah Kartini yang mengerti apa keinginan hati kaumnya. Siapa saja dapat menjadi Kartini abad modern ini, asalkan ia memiliki ketiga jiwa tersebut.
Kesenjangan, diksriminasi, pelecehan terhadap wanita, trafficking, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kesehatan reproduksi perempuan, meningkatnya angka kematian ibu, tingginya pemerkosaan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, ini semua merupakan Pekerjaan Rumah (PR) yang harus segera dituntaskan oleh Kartini abad modern. Ia bisa saja dari kalangan Pejabat Negara, Artis (selebritis), Budayawan, Guru, Aktivis Perempuan, Mahasiswi, atau hanya sekedar Ibu Rumah Tangga.
Yang penting bukan siapa dia dan jabatannya apa, tapi kemauannya untuk berjuang merubah dan mengatasi semua masalah yang muncul terhadap wanita Indonesia. Itulah yang utama. Tapi, ini tentunya juga akan utopis belaka, jika kemudian ia menjadi single fighter serupa Kartini lagi pada masanya. Untuk mewujudkan hal tersebut, harus ada kerja sama yang solid dari semua kalangan. Tidak harus wanita saja, keterwakilan laki-laki dapat pula menjadi peran pendukung untuk mewujudkan mimpi besar ini.
Kartini abad modern tidak harus sendirian. Ia tidak harus meretas jalan ulang kembali, karena jalan yang semula gelap telah diterangi oleh Kartini sebelumnya. Kartini abad modern adalah pelanjut yang cerdas, yang dapat membaca semua keadaan, membaca posisi, dan waktu yang tepat untuk bertindak. Selamat Hari Kartini, Majulah wanita Indonesia!

Minggu, 20 Juni 2010

Refleksi Kebangsaan

INDONESIA, ITU SAJA!
Oleh : Liza Wahyuninto

Sejarah adalah kumpulan banyak hal yang bisa kita hindari.
(Konrad Adenauer)
Membincang keindonesiaan adalah seperti bercerita tentang diri kita kepada seorang teman. Keindonesiaan adalah kehidupan kita sehari-hari dalam memaknai diri sebagai warga Negara Indonesia. Tentu saja, keindonesiaan kemudian menjadi harga mati bagi setiap warga Negara yang dilahirkan di negeri surgawi ini. Cara memaknainya juga beragam, dan tidak harus diseragamkan.
Kita dilahirkan dan dibesarkan di negeri ini dengan suku, agama, ras, dan etnis yang berbeda. Budaya sampai bahasa kita juga berbeda. Profesi, status social, tingkat pendidikan juga tidak sama. Ini merupakan kekayaan terbesar yang dimiliki Indonesia, dan belum tentu dimiliki pula oleh bangsa lain. Dalam perbedaan dan keanekaragaman tersebut, kita disatukan di bawah sayap burung Garuda. Yang kemduian kita kenal dengan sebutan pancasila.
Di dalam lima (5) sila inilah, Indonesia dirangkum. Keindonesiaan disusun berdasarkan visi, misi dan cita-cita terbesarnya. Pancasila dengan dilengkapi butir-butirnya sudah parpipurna disebut sebagai sumber hukum Negara. Tidak ada pemimpin Negara, mulai dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), presiden, sampai pada pemerintahan terkecil yaitu Rukun Tetangga (RT) yang boleh menyalahi aturan hokum yang terkandung dalam pancasila dan UUD 1945.
Selama kurun waktu 65 tahun sejak 1945, Indonesia sudah mengalami pergantian Presiden sebanyak 6 kali. Mulai dari Ir. Soekarno, Soeharto, B. J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan saat ini Soesilo Bambang Yudhoyono. Enam presiden yang telah mengepalai Negara Indonesia ini juga berusaha untuk memaknai pancasila. Tentu saja dengan tafsir mereka masing-masing. Sehingga, kita tidak perlu kaget atau terperanjat dengan pola kepemimpinan dari salah satu presiden yang terkadang membuat rakyatnya bingung atau bertanya-tanya.
Ir. Soekarno misalnya, menafsirkan pancasila dengan menjalankan sila yang ketiga dan kelima, yaitu persatuan Indonesia dan keadilan social bagi masyarakat Indonesia. Sehingga ketika ia berada di tampuk kepemimpinan, focus kinerjanya diarahkan pada dua sila ini. Abdurrahman Wahid yang lebih kental dengan panggilan Gus Dur, lebih menekankan pada sila kedua; yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Sehingga perjuangannya adalah perjuangan mengangkat hak dan martabat manusia Indonesia. Siapapun dia, bila ia adalah orang Indonesia maka harus diakui dan dinaikkan derajatnya. Salah satu contoh perjuangannya yaitu mengakui Konghucu sebagai agama dan mengganti mengangkat derajat etnis Tionghoa.
Apa salah menafsirkan pancasila seperti itu? Tentu saja tidak. Karena, kitapun harus maklum bahwa tidak semua dari pancasila dapat dilaksakan, jadi dipilihlah yang sesuai dengan standar kemampuan dan juga melihat kondisi social yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.

Republik Malas
Pada zaman sebelum dan di awal kemerdekaan, Indonesia begitu banyak memiliki pemuda-pemuda yang pandai dan tekun dalam belajar serta bekerja. Kita masih mengenal Tan Malaka, Bung Hatta, Habibie, Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara dan lain sebagainya. Mereka adalah beberapa gelintir saja di antara yang lain sebagai tonggak the founding father di negeri ini. Semuanya mengakui bahwa yang harus dilakukan adalah berusaha, belajar, bekerja, untuk kemajuan bangsa.
Berbeda dengan zaman saat ini. Di mana pemuda negeri lebih mengedepankan menjadi konsumen daripada produsen. Kita lebih dikenal sebagai bangsa pemakai bukan pembuat. Lebih senang dengan hal-hal yang sifatnya instan, langsung dapat digunakan tanpa harus susah payah untuk memikirkan bagaimana cara untuk membuatnya atau malah menghasilakan yang lebih bagus dari itu. Tidak salah, jika kemudian bangsa kita disebut sebagai republik malas.
Tapi, tidak bijak juga hanya menyalahkan pemuda. Pemuda adalah tiang Negara, sang pelanjut masa depan arah Negara ini. Pemerintah, yang dalam hal ini kebijakannya terhadap pendidikan terutama, sangat mempengaruhi akan bagaimana dan menjadi apa pemuda bangsa ini nantinya. Banyaknya pengangguran terutama di kalangan pemuda bukan murni kesalahan pemuda, tapi tidak efektif dan berhasilnya pemerintah di negeri ini dalam memberikan lapangan pekerjaan.
Wajib belajar (WAJAR) 9 tahun yang diterapkan pemerintah tentu tidak cukup untuk membekali seseorang untuk fighting di zaman yang serba susah ini. Butuh inovasi baru untuk memikirkan bagaimana masalah tingginya angka pengangguran dan setiap tahunnya terus menanjak sebagai bencana besar yang harus menjadi focus utama untuk ditanggulangi. Pemerintah tidak harus mendatangkan atau terus-terusan mengundang investor asing untuk menanam modal di Indonesia, tapi mengutamakan bagaimana menjadikan setiap lahan yang masih dapat untuk dibuat lapangan kerja, sebagai tempat dan mimpi baru bagi pemuda Indonesia.

Melahirkan Kembali Gus Dur
Kita harus mampu untuk menanamkan sikap seperti sikapnya Gus Dur. Keterbatasan yang kita miliki bukanlah penghalang untuk menuju kesuksesan di masa depan. Kita harus yakin, di balik keterbatasan pada diri kita ada potensi besar yang kita miliki. Percaya atau tidak, biang keladi dari kemalasan dan semua penyakit yang menimpa pemuda di negeri ini berasal dari tidak memiliki rasa percaya diri terhadap diri sendiri. Kita bangsa yang minder, dan selalu tunduk di hadapan orang asing.
Kita harus melahirkan Gus Dur dalam diri kita. Sosok pejuang yang tidak pernah mengenal kata menyerah, putus asa, dan mengeluh sampai apa yang diperjuangkan dapat terwujud. Gus dur tidak dikenal karena ayah atau kakeknya, tapi memang murni dari apa yang ia perjuangkan dan ia lakukan untuk masyarakat Indonesia yang ia temui. Perjuangannya mempertahankan pluralisme sebagai harga mati dalam kerukunan beragama di Indonesia merupakan perjuangan ang harus terus dilanjutkan dikawal oleh kita para penerusnya.
Memaknai keindonesiaan adalah memaknai mimpi-mimpi Indonesia di tahun-tahun mendatang. Mengisi kemerdekaan dengan apa yang dapat kita lakukan saat ini adalah kunci utama. Momen kebangkitan nasional pada 20 mei lalu, seharusnya menjadi cambuk untuk melecut kembali semangat kita yang tertidur. Kita butuh lagi rasa kebersamaan dalam membangun bangsa. Tanpa membedakan suku, agama, ras, dan adat istiadat yang kita miliki. Perbedaan adalah kekayaan bukan pemicu pertikaian.
Ke depan, Indonesia yang memiliki Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indoneisa, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan social bagi rakyat Indonesia, akan terwujud dan tidak menjadi mimpi-mimpi belaka. Sudah saatnya kekayaan yang kita miliki kita sendiri yang menikmati, bukan dieksploitasi oleh bangsa asing.
Jas Merah, begitu kata Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Tapi, bukan berarti kita harus terus berbangga dengan sejarah emas yang kita miliki. Masih banyak masa keemasan yang akan kita raih. Hingga usia Indonesia 1 abad nanti, Indonesia harus tetap ada di muka bumi. Caranya, bagaimana dan kemana kita akan melangkahkan kaki pagi ini. Indonesiaku, memang bukan Indonesia-indonesiaan. Indonesiaku adalah Indonesia, itu saja!

Senin, 31 Mei 2010

PAK NOER, GUBERNURE WONG CILIK

Liza Wahyuninto

“Siapa Gubernur Jawa Timur?”
“Ya Pak Noer”
“Lho kan sekarang Pakdhe Karwo”
“Dia itu penggantinya”
Kata-kata di atas merupakan anekdot yang sering digunakan oleh orang Madura. Tapi, dari anekdot kecil tersebut dapat menunjukkan betapa kepemimpinan Pak Noer masih dapat dirasakan meskipun ia sudah tidak lagi menjabat sebagai gubernur. Pemimpin sejati yang menjadi panutan serta teladan, begitulah kata yang pantas untuk melukiskan siapa Pak Noer di hati masyarakat Jawa Timur. Bahkan, untuk mengenang dan menghormati perjuangannya, pemerintah provinsi jawa Timur menghimbau agar masyarakat Jatim berkabung selama dua hari.
Dua hari tentulah bukanlah ukuran waktu untuk menghormati apa yang telah Pak Noer berikan kepada Jawa Timur. Selamanya masyarakat akan tetap kehilangan, dan akan tetap merindukan kepemimpinan dari tokoh yang meninggal pada usia 92 tahun tersebut. Pak Noer akan tetap dikenang, terutama setelah ide besar yang dicanangkannya telah menjadi kenyataan, yaitu mimpi untuk membangun jembatan yang menghubungkan antara Surabaya dan Madura (Suramadu).
Ide untuk membangun Jembatan Suramadu telah ia tanamkan dalam dirinya jauh sebelum penguasa orde baru mempunyai inisiatif serupa. Bahkan, ambisinya untuk mewujudkan mimpinya tersebut pernah ia ungkapkan “Kalau nanti saya punya uang, saya yang akan membangun sendiri (Jembatan Suramadu)”. Sungguh ambisius, tapi realistis. Dan apa yang dicita-citakan oleh Pak Noer akhirnya didengar juga oleh pemerintah, dan berdirilah Jembatan Suramadu yang dapat dirasakan oleh semua masyarakat Jatim.
Pak Noer dikenal sebagai pemimpin yang sangat dekat dengan wong cilik. Dari kedekatannya itu, baik kepada para pejabat dan mantan pejabat, Pak Noer selalu berpesan agar jangan menyia-nyiakan rakyat kecil. Buat mereka bahagia. Jadilah orang yang bisa membahagiakan orang lain. Pak Noer telah membuktikan hal tersebut selama dirinya memimpin, rakyat menjadi prioritas utamanya.
Pak Noer tidak pandang siapa dalam bergaul, ia menghormati semua kalangan. Kasta, baginya, merupakan hal utama yang harus dihapuskan ketika akan membangun masyarakat madani. Bahkan, selama hidupnya Pak Noer sangat akrab dengan tukang becak dan pedagang kaki lima. Pak Noer menempatkan masyarakat kecil (wong cilik) sebagai inspirasi terbesar dirinya guna membuat terobosan untuk kemajuan dan kebangkitan bersama.
Kata-kata yang sangat akrab yang disampaikan Pak Noer ketika berhadapan dengan masyarakat kecil adalah, wong cilik kudu gemuyu (rakyat kecil harus tetap bisa selalu tersenyum). Ternyata, sikap kebersahajaan inilah yang membuatnya begitu dicintai masyarakat. Sikap yang tidak mendahulukan siapa yang memiliki jabatan, tetapi melainkan mendahulukan siapa yang lebih membutuhkan. Bahkan dalam acara yang digelar oleh masyarakat bawah sekalipun, Pak Noer selalu menyempatkan diri untuk hadir di dalamnya.
Pak Noer bernama lengkap Raden Panji Mohammad Noer lahir di Kampung Beler, Desa Rong Tengah, pinggiran Sampang, Madura, pada tanggal 13 Januari 1918. Pendidikannya dienyam mulai dari Hindia Indlandsce School (HIS/setingkat SD di zaman colonial belanda) lulus pada 1932, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO/setingkat SMP) lulus pada 1936, dan Middelbare Opleidings School Voor Inlandsche Ambternaren (MOSVIA/sekolah pendidikan menengah untuk pegawai pribumi) lulus pada 1939.
Pendidikan pulalah yang membuatnya begitu menghargai siapa saja yang ada dalam kehidupannya. Pak Noer juga dikenal sebagai tokoh yang menghargai waktu dan etos kerja. Inilah yang ia wariskan kepada kita yang selama ini sering sekali menyia-nyiakan waktu dan tidak memiliki etos kerja yang tinggi. Selayaknya jika kemudian ia begitu banyak meraih penghargaan, misalnya; Satya Lencana Perang Kemerdekaan, Tanda Kehormatan Bhayangkara, Bintang Gerilya, Satya Lencana Kebangkitan Nasional, sampai pada penghargaan Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia.
Pak Noer menjabat sebagai Gubernur Jatim selama dua periode, yaitu sejak Desember 1967 sampai Januari 1976. Selama dua periode ini landasan kepemimpinannya adalah mengedepankan kepentingan wong cilik. Keyakinan kuat tersebut ia nyatakan dalam sebuah kesempatan, bahwa baginya masyarakat bawahlah yang menggerakkan pemerintahan, bukan malah sebaliknya.
Pak Noer, kiranya akan selalu menjadi Gubernur di hati masyarakat Jawa Timur selama tidak ada pemimpin baru yang mampu menyamai atau bahkan menandingi apa yang telah ia tunjukkan. Wong cilik adalah orang-orang yang paling kehilangan tokoh ini, terutama di saat ini, dimana pemimpin sangat jauh dari yang mereka pimpin. Selamat jalan Pak Noer! Selamanya kami akan merindukanmu. wong cilik kudu gemuyu. Kami akan tetap tersenyum, meski kami bukan siapa-siapa dan hanya dianggap sebagai wong cilik.

Selasa, 09 Februari 2010

Freedom of Pers, Kebebasan untuk Semua

Aku lebih takut dengan seorang jurnalis daripada seribu orang tentara perang. (Napoleon Bonaparte)
Sejarah telah mencatat bahwa keterlibatan pers di Indonesia bukan sekedar mencetak Koran atau majalah dengan huruf-huruf di dalamnya. Tapi, lebih dari itu, keterlibatan dunia jurnalisme juga ikut berperan dalam kemerdekaan Negara Indonesia. Munculnya semangat nasionalisme hingga pada pendokumentasian sejarah merupakan kerja orang-orang yang kita sebut sebagai kuli tinta.
Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) sejatinya bukan sekedar bermanis-manis dengan sejarah. Pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi, hingga saat ini merupakan perjalanan panjang dari perjalanan pers mengawal Indonesia. Harga yang ditebuspun mahal, sudah berapa jurnalis yang hilang hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya. Berapa pula wartawan yang diculik demi menurunkan sebuah berita. Belum lagi di tengah-tengah bencana, bukan sekedar pertaruhan idealisme tapi juga nyawa.
Refleksi HPN seharusnya dimulai dengan bertanya pada diri orang-orang yang mengaku jurnalis, bahwa apa saja yang telah diperjuangkan selama ini untuk bangsa? Sejauh mana berpihak pada kesadaran nurani? Sekuat apa membela kaum yang tertindas? Dan seberapa banyak berita-berita yang diturunkan ikut serta membenahi pembangunan bangsa?
Wartawan adalah sekumpulan orang-orang kritis, cerdas, idealis tapi memiliki etika. Naïf, jika di lapangan ditemukan wartawan yang dapat dibeli dengan setumpuk uang. Citra jurnalis berada di tangan para jurnalis sendiri. Masyarakat Indonesia sudah menyadari bahwa keberadaan jurnalis di tengah-tengah mereka adalah kaum tengah, yang tidak memihak siapa-siapa. Fakta apapun akan diungkap dan diturunkan menjadi sebuah berita baru. Lahirlah sejarah baru. Bukan hanya untuk Indonesia, tapi dunia.
Selamat Hari Pers, kawan-kawan jurnalis! Kami menanti kiprah kalian selanjutnya. Bahkan Napoleon Bonaparte saja memahami kekuatan kalian setara dengan kekuatan jendral besar dalam peperangan.

Malang, 2010

Minggu, 31 Januari 2010

Mendudukkan Sains dan Agama

Oleh : Liza Wahyuninto*)

Jika ada persoalan yang terlalu sulit bagiku, aku pergi ke masjid dan berdoa, memohon kepada Yang Maha Pencipta agar pintu yang tertutup bagiku dibukakan dan apa yang tampaknya sulit menjadi sederhana. Biasanya, saat malam tiba, aku kembali ke rumah, menghidupkan lampu dan menenggelamkan diri dalam bacaan dan tulisan.
(Ibnu Sina)

Integritas sains dan agama bukanlah perbincangan baru di kalangan dunia Islam. Ia telah mengakar sejak kemunculan Sayyed Husein Nasser, Naquib al-Attas, al-Faruqi, dan Sardar. Bahkan jauh sebelum Ian G. Barbour mengeluarkan tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama. Hanya saja Ian G. Barbour menemukan pandangan yang lebih baik dalam hal menyandingkan antara sains dan agama. Tipologi ini memiliki empat macam pandangan; konflik, independensi, dialog, dan integritas.
Agama atau dalam arti sempitnya iman berhubungan dengan personal individu, sedangkan sains erat kaitannya dengan kehidupan social. Namun, bukan perdebatan kecil ini yang akan penulis kemukakan. Sains dan agama bukanlah musuh yang harus didamaikan, tetapi bagaimana menyeimbangkan di antara keduanya. Salah kaprahnya adalah sains dianggap melebihi kuasa agama, yang berakibat pada dianggapnya sains dan temuan-temuan di dalamnya sebagai Tuhan yang baru.
Dus, sejatinya yang dikehendaki adalah bagaimana sains menjadi alat untuk mengenal iman. Namun patut juga dicermati, bahwa keimanan belaka tanpa ada sains akan menghilir pada fanatisme dan bermuara pada kemandekan. Karena disadari atau tidak, upaya menjadikan agama sebagai mata dan sains sebagai mikroskop atau kaca pembesar bukanlah suatu yang gampang, tidak jarang juga berkutatnya pada ranah teks dimana agama, atau lebih tepatnya lembaga agama, selalu menolak penemuan, kemajuan zaman dengan alasan bid’ah atau bertentengan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
Pertanyaannya, bagaimana dengan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang? UIN Maliki memiliki 6 Fakultas dengan jurusan-jurusan pendukung di dalamnya. Enam fakultas tersebut terdiri dari fakultas agama dan umum. Secara teori sudah dapat dipastikan integrasi keilmuan yang ada di dalamnya pun akan ikut berimbang dan berkembang. Seyogyianya, antara cabang ilmu agama dan umum akan berbaur membentuk satu cabang ilmu pengetahuan yang saling melengkapi. Namun dalam kenyataannya, kita masih sering dihantui dengan bertambahnya fakultas dan jurusan baru bukannya malah menyimbangkan antara integritas sains dan agama, melainkan hanya sekedar kesibukan dalam cabang ilmu masing-masing.
Sebagai salah satu universitas Islam di Indonesia, UIN Maliki Malang telah memiliki standar untuk disebut sebagai universitas yang telah berhasil memadukan sains dan agama. Adanya ma’had al-‘Aly sangat menunjang sebagai pembanding perkuliahan regular yang di dapat oleh mahasiswa di ruang kelas. Namun, dengan catatan halaqoh-halaqoh ilmiah di dalamnya ikut pula mengkaji ilmu-ilmu umum. Jika belum mampu, integritas sains dan agama di dalamnya masih patut untuk dipertanyakan.
Selain memiliki ma’had al-‘Aly, UIN Maliki juga memiliki 2 buah masjid. Pusat pengkajian Islam sebaiknya difokuskan pada dua tempat ini. Rasulullah telah mencontohkan bahwa masjid pada zamannya telah menjadi pusat ilmu pengetahuan dan proses belajar mengajar. 2 buah masjid seharusnya benar-benar dimaksimalkan sebagai pusat pengkajian ilmu-ilmu agama, terutama berkenaan dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan demikian, capaian yang diharapkan adalah, output mahasiswa UIN Maliki tidak hanya sekedar mengerti ilmu-ilmu umum, namun juga paham permasalahan agama.
Integritas sains dan agama di UIN Maliki Malang akan sulit terwujud jika universitas menutup diri dengan munculnya mahasiswa yang berjiwa kreatif dan mampu menunjukkan bakatnya dari level regional sampai nasional bahkan hingga level internasional. Universitas seharusnya tidak hanya menunggu hasil atau laporan, tetapi mendampingi serta mengawasi bagaimana proses keberhasilannya.
Memadukan sains dan agama seperti memulangkan kembali Tuhan dalam pengembaraan panjang manusia menguak rahasia semesta. Ungkapan semacam itu muncul karena mulanya antara sains dan agama dianggap bermusuhan, dan salah satu cara mendamaikannya adalah mendudukkannya atau dalam bahasa ekstrimnya mengawinkan keduanya. Kita yang disebut sebagai manusia modern kemudian seperti dikutuk untuk mendewakan kembali nalar, sehingga nash al-Qur’an dan al-Hadits dipakai hanya dalam perkuliahan dan menjawab pertanyaan belaka, tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Adanya pusat pengkajian al-Qur’an dan sains di lingkungan universitas sangat diharapkan dapat menjembatani permasalahan nalar saintifik ini. Permasalahannya adalah civitas akademika masih menutup mata untuk bersentuhan dengan lembaga ini, sehingga yang masuk di dalamnya hanya orang-orang yang berkepentingan khusus saja, terutama ketika mendapat tugas yang mengharuskan ia untuk berkuliah (mencari data) di dalamnya.
Pertengkaran sains dan agama sebenarnya adalah pertengkaran individu. Secara falsafi, manusia tidak pernah bisa menolak dan menutup diri dari kemajuan zaman, modernitas. Karenanya, modernitas selalu menginginkan sebuah metode yang kokoh, radikal, sistematis dan nyata dalam mengejar rahasia realitas demi kepentingan umat manusia. Sebagai tumbalnya, siapa saja yang berada di jalurnya harus menentukan langkah. Pilihannya adalah, mengikuti modernitas, dengan sains sebagai pendukung di dalamnya; menutup diri dari kemajuan zaman, zuhud dan memilih agama sebagai juru selamat; atau menolak keduanya dengan bersikap apatis dan mengedepankan ego. Dan naifnya, kita tengah berhadapan dengan zaman yang diharuskan memilih pilihan ketiga.
Sebagai uiversitas Islam yang cukup berpengaruh di Indonesia, UIN Maliki seharusnya membaca gejala tersebut dengan menyiapkan mahasiswanya sebagai manusia modern yang benar-benar paham – tidak cukup dengan sekedar mengerti – terhadap makna ulul albab yang selama ini disandangkan padanya. Caranya tentu saja dengan membanjiri setiap halaqoh, ruang auditorium, home teater, ruang sidang, dan ruangan-ruangan lain yang dapat dijadikan tempat pertemuan, dengan kuliah tamu, seminar, dialog terbuka, dan diskusi yang mengarah pada terjembataninya dua kutub yang selama ini dipertentangkan, yaitu sains dan agama.
Bukanlah suatu yang sulit atau bahkan mustahil untuk dilakukan bila dukungan tidak hanya dari satu pihak, tapi disambut baik dari mahasiswa hingga sampai pihak birokarsi kampus. Masa depan rukunnya sains dan agama ada di tangan univeristas Islam, dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang termasuk memiliki kewajiban untuk menyelamatkannya.
Satu contoh kecil; penulis sangat menyukai kuliah tujuh menit yang selalu diadakan selepas menunaikan ibadah sholat dzuhur di masjid at-Tarbiyah. Di samping dapat rehat sejenak sebelum melanjutkan aktifitas, penyampaiannya lebih santai sehingga auidens yang mendengarkan pun dapat mendengarkan dengan baik. Bukan permasalahan siapa penyampainya, tetapi hal-hal yang disampaikan pun beragam. Mulai dari ajakan untuk meningkatkan ketakwaan dan ibadah, motivasi sampai pada perkuliahan umum. Inilah yang dinamakan harmoni, dimana perbincangan antara sains dan agama dapat dijinakkan dalam satu perkuliahan yang berdurasi lebih kurang tujuh menit. Namun, sayangnya mahasiswa masih belum diberi kesempatan untuk berdiri di atas podium dan berbagi sedikit pengalaman di hadapan dosen dan rekan sesama mahasiswa.
Perkawinan antara sains (diwakili fakultas umum) dan agama (yang diwakili fakultas agama) di UIN Maliki Malang juga telah banyak melahirkan anak-anak yang berbentuk media baca, yang dalam hal ini buku. Sudah banyak buku-buku yang diterbitkan yang membahas permasalahan sains dan agama. Hal ini menandakan sains dan agama bukan lagi permasalahan yang patut diperdebatkan di UIN Maliki Malang, tapi bagaimana menerapkannya dalam kehidupan masyarakat kampus.
Tanggung jawab selanjutnya adalah membangun masyarakat kampus (civitas akademika) yang mencintai ilmu pengetahuan dan membentengi mereka dengan keimanan. Tentu saja dengan cara membuka informasi seluas-luasnya pada masyarakat kampus, dan terbuka terhadap kritik dan saran dalam hal pembangunan dengan tujuan untuk kepentingan bersama. Jika hal itu benar-benar dilaksanakan, UIN Maliki tidak menutup kemungkinan menggeser UIN Syarif Hidayatullah sebagai cermin bagi UIN, IAIN dan STAIN dan PTAI di Indonesia. Semoga.

Selasa, 08 September 2009

Selamat Jalan Mbah Surip

Selamat Jalan Mbah Surip

Oleh : Liza Wahyuninto*)

4 Agustus 2009 Tjahjono Widijanto membuat judul pada tulisannya “Tak Gendong Ha-ha-ha!” di Forum Kompas Jatim. Melalui tulisannya Tjahjono Widijanto mencoba mengajak kita untuk merefleksikan kehidupan masyarakat, kita semua. Ia mengatakan bahwa lewat lagu Mbah Surip yang berjudul Tak Gendong masyarakat seperti diajak kembali memasuki bilik-biliknya sendiri yang wajar, spontan, jujur, dan tidak ada kehendak untuk merias diri. Dan pagi hari pada tanggal 4 Agustus pula Mbah Surip meninggalkan dunia untuk selamanya.
Mbah surip, putra Jawa Timur tersebut dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1949 di Mojokerto. Kemunculannya di belantara musik Indonesia memang dapat dikatakan baru, meskipun sejak tahun 2004 ataupun mungkin jauh sebelum itu, ia telah sering diundang di kota-kota Jawa Timur untuk membawakan dua lagunya, yaitu Bangun Tidur dan Tak Gendong. Penulis sendiri pertama kali mengenal Mbah Surip dan dua lagu populernya pada tahun 2004, yaitu ketika Mbah Surip menjadi bintang tamu pada pengajian Padang Bulan Emha Ainun Nadjib di Jombang.
Memang, pada tahun 2004 Mbah Surip tidak sepopuler tahun ini. Masih banyak orang-orang yang belum mengenalnya, bahkan mungkin sekilas orang akan menganggap Mbah Surip adalah orang yang baru saja lepas dari Rumah Sakit Jiwa. Penampilannya yang alakadarnya dan cenderung kurang mengurus diri menjadi kesan pertama dalam menilai perilaku Mbah Surip. Pun, pada waktu tampil mengisi acara pada pengajian Padang Bulan di Jombang, setelah membawakan dua lagunya, Mbah Surip langsung menyemplungkan dirinya di kolam yang berhadapan dengan tempat acara berlangsung. Dan, kontan saja kejadian itu mengundang tawa dari para peserta pengajian. Ha-ha-ha.
Bangun Tidur dan Tak Gendong
Realita Mbah Surip sedikit banyak adalah realita masyarakat kita. Lewat lagu Bangun Tidur misalnya, Mbah Surip menyindir kita yang bermalas-malasan dan cenderung sering mengentengkan masalah dan hanya omong doank. Masih dalam lagu Bangun Tidur, Mbah Surip pula mengkritik ungkapan time is money yang terus didengung-dengungkan hingga ke pelosok masyarakat pedesaan, tetapi ungkapan tersebut hanya sekedar ungkapan belaka. Tidak benar-benar diciptakan untuk digunakan sebagai alat pemacu semangat bekerja.
Lagu Tak Gendong pun adalah kelanjutan dari Bangun Tidur. Jika dalam lagu Bangun Tidur Mbah Surip terkesan mengkritik pola dan tingkah laku masyarakat kita, maka dalam lagu Tak Gendong Mbah Surip mengetengahkan solusi terhadap permasalahan tersebut. Solusi tersebut adalah “together” atau bersama-sama. Bekerjasama. Dalam menghayati lagu-lagu Mbah Surip tidak cukup dalam sekali dengar, lalu langsung paham dan mengerti apa makna yang terkandung di dalamnya. Tema-tema yang di usung Mbah Surip adalah tema kemanusiaan yang diformat dalam lirik yang biasa dan sarat makna. Ini mungkin saja dikarenakan latar pendidikannya yang sempat mendapat kuliah filsafat.
Akan tetapi terlepas dari makna apa yang terkandung di dalamnya, kita harus mengakui bahwa apa yang telah Mbah Surip lakukan baik lewat lagu, lirik, jenis musik dan penampilannya di depan memberikan sesuatu warna baru bagi permusikan Indonesia. Dan tentu saja, apa yang telah Mbah Surip tampilkan tidak sekedar memperkaya belantika musik Indonesia saja, tetapi juga mengajarkan bagaimana seharusnya menjadi artis yang sebenarnya. Tentu saja di dalamnya, ia mencontohkan bagaimana menghibur, bagaimana menjadi entertainer dan bagaimana menjadi panutan masyarakat. Bukankah itu yang disebut dengan entertainer dan artis?
I Love You Full, Ha-ha-ha
Kata-kata yang sering dituturkan oleh Mbah Surip, baik sewaktu jeda lagu maupun sebelum dan mengakhiri lagu, yaitu I Love You Full kemudian diikuti tawa lepasnya Ha-ha-ha. I Love You Full telah menjadi semacam kata paten yang telah dikukuhkan dalam pelafalan Mbah Surip. Dan kemudian kata-kata tersebut mulai diikuti oleh banyak orang, mulai dari kalangan masyarakat akademis hingga pada masyarakat awam, bahkan sempat dijadikan judul pada sebuah tulisan.
I Love You Full menjadi semacam semangat yang hidup bagi Mbah Surip. Dan kata-kata tersebut juga menjadi sapaan timbal balik dari sang pelantun lagu kepada pendengar, pun sebaliknya. Sejatinya, kata-kata inipun menjadi sapaan hangat kita kepada sesama sebagaimana Mbah Surip telah mencontohkan bagaimana ia cinta dan dicintai oleh pendengarnya.
Kita semua tahu, bahwa dalam hal fans mungkin Mbah Surip masih kalah dengan goup band ataupun penyanyi single sekelas Slank, Gigi, Dewa 19, Padi, Ari Laso, Bunga Citra Lestari dan lain sebagainya. Tetapi dalam hal kesan yang diciptakan, Mbah Surip mungkin lebih unggul daripada mereka. Lagu yang simpel, mudah dihafal dengan pelafalan yang gampang pula menjadi semacam daya tarik sendiri sehingga satu kali mendengar pun pendengar sudah dapat mengikuti penyanyinya.
Mbah Surip telah tiada, Selasa 4 Agustus 2009 menjadi hari yang indah buatnya. Hari di mana ia akan lebih bebas bernyanyi, tanpa harus kelelahan oleh jadwal yang padat dan kemudian menjadi penyebab utama meninggalnya. Putra Jawa Timur itu akhirnya membuktikan kepada bangsanya bahwa dari tanah kelahirannya telah memberikan satu tokoh lagi yang akan dikenang oleh bangsa dan rakyatnya, minimal pencinta musik Indonesia.
Bangun Tidur dan Tak Gendong adalah dua tembang persembahan dari Mbah Surip kepada bangsa dan tanah kelahirannya. Ibarat buku Mbah Surip telah mewariskan ilmu kehidupan yang tak akan habis-habisnya untuk dibaca.
Mbah Surip kiranya belum menjadi legenda musik Indonesia sebagaimana Nike Ardila, Chrisye, Gito Rolies dan lain sebagainya. Apalagi menjadi legenda dunia seperti Michael Jackson. Akan tetapi kesan yang ditinggalkannya kiranya dapatlah menempatkannya pada hati para musisi dan pencinta musik tanah air akan kiprahnya selama ini di dunia musik Indonesia. I Love You Full Mbah Surip, Ha-ha-ha.

*) Liza Wahyuninto, Fans Mbah Surip dan Pencinta Musik Indonesia.

Gombal Warming

Oleh : Liza Wahyuninto

Mengurusi lingkungan, itulah sebenarnya yang tengah diupayakan oleh masyarakat dunia saat ini. Bagaimana tidak, pertemuan UNFCCC di Bali menyatakan ada dua hal yang tengah menggerogoti bumi yang kita sepakat menyebutnya sebagai tempat tinggal utama di dunia ini meskipun telah ditemukan planet baru yang menurut para ahli juga dapat dijadikan tempat tinggal. kedua hal tersebut adalah climate change dan global warming.
Setiap tanggal 5 Juni kita hanya memperingati hari lingkungan hidup, tapi sekedar peringatan belaka. Refleksi sebentar, setelahnya pagelaran perusakan lingkungan, pesta penebangan pohon dan parade pembuangan sampah di sembarang tempat tetap kita lakukan. Tidak ada kesadaran dari diri individu akan pentingnya pelestarian lingkungan guna diwarisi oleh generasi mendatang.
Tidaklah sulit sebenarnya melakukan pengawalan terhadap lingkungan. Dibutuhkan tim yang kompak yang menyadari posisinya masing-masing, itulah kunci utamanya. Ibaratkan sepak bola, maka harus ada yang menjadi keeper yang mengawal agar bola tidak masuk ke gawang, pemain belakang yang menjaga agar striker lawan, pemain tengah yang menjadi penghalau sekaligus penyuplai bola, dan striker yang bekerja keras untuk menciptakan goal. Akan tetapi selama ini, kita selalu ingin menjadi striker yang selalu ingin menjadi pemangsa, hutan contohnya. Tapi tidak ada yang ingin menjadi penjaga gawang dan pemain belakang yang selalu menjaga hutan agar selalu hijau dan mengkampanyekan penanaman pohon.
Abdul Hadi WM, seorang penyair Indonesia dengan cerdas mengungkapkan “kita seharusnya malu kepada anak-cucu kita yang kita mulai mencuri hak yang seharusnya diwarisi dan dimiliki oleh mereka”. Ungkapan tersebut benar kiranya untuk melecut ke-timur-an kita yang dikenal dengan mengedepankan rasa malunya. Slogan “save our earth”, kampanye “tanam seribu pohon” tidaklah akan menjadi tugas bersama jika lingkungan masih belum dianggap sebagai bagian dari negara, keluarga dan diri melainkan dianggap sebagai barang komoditi yang harus dihabiskan.
Gagasan gila Gubernur Bengkulu, Agusrin Najamudin tentang visi dan misi membangun Bengkulu kiranya patut untuk diteladani. Dalam sambutannya pada saat silaturrahmi dan sarasehan Gubernur Bengkulu bersama Ikatan Keluarga Mahasiswa Bengkulu-Malang (IKMB-M) ia menyatakan bahwa “Semua harus dimulai dari akhir”, artinya bahwa kita harus tahu tujuan final dari apa yang hendak kita laksanakan. Agak gila memang, tapi rasional untuk dijadikan pijakan dalam menggawangi pelestarian lingkungan yang kian tidak menarik untuk dijadikan sebagai isu nasional.
Dua tahun sudah lumpur lapindo sidoarjo berjalan, selama itu pula tidak ada upaya maksimal yang dilakukan pemerintah – baik pusat maupun daerah – guna mengusahakan penutupan lumpur yang kian hari kian melebar. Kendati demikian selaku masyarakat yang sadar lingkungan kitalah yang harus menjadi penjaga gawang dan pemain belakang yang menghalau rencana-rencana besar pihak-pihak yang semakin tidak bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan. Semoga saja masyarakat dunia menganggap bahwa save our earth memang adalah agenda mendesak yang harus diupayakan untuk mengimbangi global warming dan climate change. Tapi yang terpenting, semoga agenda tersebut tidak dipelesetkan menjadi gombal warming!