Oleh : Liza Wahyuninto*)
Jika ada persoalan yang terlalu sulit bagiku, aku pergi ke masjid dan berdoa, memohon kepada Yang Maha Pencipta agar pintu yang tertutup bagiku dibukakan dan apa yang tampaknya sulit menjadi sederhana. Biasanya, saat malam tiba, aku kembali ke rumah, menghidupkan lampu dan menenggelamkan diri dalam bacaan dan tulisan.
(Ibnu Sina)
Integritas sains dan agama bukanlah perbincangan baru di kalangan dunia Islam. Ia telah mengakar sejak kemunculan Sayyed Husein Nasser, Naquib al-Attas, al-Faruqi, dan Sardar. Bahkan jauh sebelum Ian G. Barbour mengeluarkan tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama. Hanya saja Ian G. Barbour menemukan pandangan yang lebih baik dalam hal menyandingkan antara sains dan agama. Tipologi ini memiliki empat macam pandangan; konflik, independensi, dialog, dan integritas.
Agama atau dalam arti sempitnya iman berhubungan dengan personal individu, sedangkan sains erat kaitannya dengan kehidupan social. Namun, bukan perdebatan kecil ini yang akan penulis kemukakan. Sains dan agama bukanlah musuh yang harus didamaikan, tetapi bagaimana menyeimbangkan di antara keduanya. Salah kaprahnya adalah sains dianggap melebihi kuasa agama, yang berakibat pada dianggapnya sains dan temuan-temuan di dalamnya sebagai Tuhan yang baru.
Dus, sejatinya yang dikehendaki adalah bagaimana sains menjadi alat untuk mengenal iman. Namun patut juga dicermati, bahwa keimanan belaka tanpa ada sains akan menghilir pada fanatisme dan bermuara pada kemandekan. Karena disadari atau tidak, upaya menjadikan agama sebagai mata dan sains sebagai mikroskop atau kaca pembesar bukanlah suatu yang gampang, tidak jarang juga berkutatnya pada ranah teks dimana agama, atau lebih tepatnya lembaga agama, selalu menolak penemuan, kemajuan zaman dengan alasan bid’ah atau bertentengan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
Pertanyaannya, bagaimana dengan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang? UIN Maliki memiliki 6 Fakultas dengan jurusan-jurusan pendukung di dalamnya. Enam fakultas tersebut terdiri dari fakultas agama dan umum. Secara teori sudah dapat dipastikan integrasi keilmuan yang ada di dalamnya pun akan ikut berimbang dan berkembang. Seyogyianya, antara cabang ilmu agama dan umum akan berbaur membentuk satu cabang ilmu pengetahuan yang saling melengkapi. Namun dalam kenyataannya, kita masih sering dihantui dengan bertambahnya fakultas dan jurusan baru bukannya malah menyimbangkan antara integritas sains dan agama, melainkan hanya sekedar kesibukan dalam cabang ilmu masing-masing.
Sebagai salah satu universitas Islam di Indonesia, UIN Maliki Malang telah memiliki standar untuk disebut sebagai universitas yang telah berhasil memadukan sains dan agama. Adanya ma’had al-‘Aly sangat menunjang sebagai pembanding perkuliahan regular yang di dapat oleh mahasiswa di ruang kelas. Namun, dengan catatan halaqoh-halaqoh ilmiah di dalamnya ikut pula mengkaji ilmu-ilmu umum. Jika belum mampu, integritas sains dan agama di dalamnya masih patut untuk dipertanyakan.
Selain memiliki ma’had al-‘Aly, UIN Maliki juga memiliki 2 buah masjid. Pusat pengkajian Islam sebaiknya difokuskan pada dua tempat ini. Rasulullah telah mencontohkan bahwa masjid pada zamannya telah menjadi pusat ilmu pengetahuan dan proses belajar mengajar. 2 buah masjid seharusnya benar-benar dimaksimalkan sebagai pusat pengkajian ilmu-ilmu agama, terutama berkenaan dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan demikian, capaian yang diharapkan adalah, output mahasiswa UIN Maliki tidak hanya sekedar mengerti ilmu-ilmu umum, namun juga paham permasalahan agama.
Integritas sains dan agama di UIN Maliki Malang akan sulit terwujud jika universitas menutup diri dengan munculnya mahasiswa yang berjiwa kreatif dan mampu menunjukkan bakatnya dari level regional sampai nasional bahkan hingga level internasional. Universitas seharusnya tidak hanya menunggu hasil atau laporan, tetapi mendampingi serta mengawasi bagaimana proses keberhasilannya.
Memadukan sains dan agama seperti memulangkan kembali Tuhan dalam pengembaraan panjang manusia menguak rahasia semesta. Ungkapan semacam itu muncul karena mulanya antara sains dan agama dianggap bermusuhan, dan salah satu cara mendamaikannya adalah mendudukkannya atau dalam bahasa ekstrimnya mengawinkan keduanya. Kita yang disebut sebagai manusia modern kemudian seperti dikutuk untuk mendewakan kembali nalar, sehingga nash al-Qur’an dan al-Hadits dipakai hanya dalam perkuliahan dan menjawab pertanyaan belaka, tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Adanya pusat pengkajian al-Qur’an dan sains di lingkungan universitas sangat diharapkan dapat menjembatani permasalahan nalar saintifik ini. Permasalahannya adalah civitas akademika masih menutup mata untuk bersentuhan dengan lembaga ini, sehingga yang masuk di dalamnya hanya orang-orang yang berkepentingan khusus saja, terutama ketika mendapat tugas yang mengharuskan ia untuk berkuliah (mencari data) di dalamnya.
Pertengkaran sains dan agama sebenarnya adalah pertengkaran individu. Secara falsafi, manusia tidak pernah bisa menolak dan menutup diri dari kemajuan zaman, modernitas. Karenanya, modernitas selalu menginginkan sebuah metode yang kokoh, radikal, sistematis dan nyata dalam mengejar rahasia realitas demi kepentingan umat manusia. Sebagai tumbalnya, siapa saja yang berada di jalurnya harus menentukan langkah. Pilihannya adalah, mengikuti modernitas, dengan sains sebagai pendukung di dalamnya; menutup diri dari kemajuan zaman, zuhud dan memilih agama sebagai juru selamat; atau menolak keduanya dengan bersikap apatis dan mengedepankan ego. Dan naifnya, kita tengah berhadapan dengan zaman yang diharuskan memilih pilihan ketiga.
Sebagai uiversitas Islam yang cukup berpengaruh di Indonesia, UIN Maliki seharusnya membaca gejala tersebut dengan menyiapkan mahasiswanya sebagai manusia modern yang benar-benar paham – tidak cukup dengan sekedar mengerti – terhadap makna ulul albab yang selama ini disandangkan padanya. Caranya tentu saja dengan membanjiri setiap halaqoh, ruang auditorium, home teater, ruang sidang, dan ruangan-ruangan lain yang dapat dijadikan tempat pertemuan, dengan kuliah tamu, seminar, dialog terbuka, dan diskusi yang mengarah pada terjembataninya dua kutub yang selama ini dipertentangkan, yaitu sains dan agama.
Bukanlah suatu yang sulit atau bahkan mustahil untuk dilakukan bila dukungan tidak hanya dari satu pihak, tapi disambut baik dari mahasiswa hingga sampai pihak birokarsi kampus. Masa depan rukunnya sains dan agama ada di tangan univeristas Islam, dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang termasuk memiliki kewajiban untuk menyelamatkannya.
Satu contoh kecil; penulis sangat menyukai kuliah tujuh menit yang selalu diadakan selepas menunaikan ibadah sholat dzuhur di masjid at-Tarbiyah. Di samping dapat rehat sejenak sebelum melanjutkan aktifitas, penyampaiannya lebih santai sehingga auidens yang mendengarkan pun dapat mendengarkan dengan baik. Bukan permasalahan siapa penyampainya, tetapi hal-hal yang disampaikan pun beragam. Mulai dari ajakan untuk meningkatkan ketakwaan dan ibadah, motivasi sampai pada perkuliahan umum. Inilah yang dinamakan harmoni, dimana perbincangan antara sains dan agama dapat dijinakkan dalam satu perkuliahan yang berdurasi lebih kurang tujuh menit. Namun, sayangnya mahasiswa masih belum diberi kesempatan untuk berdiri di atas podium dan berbagi sedikit pengalaman di hadapan dosen dan rekan sesama mahasiswa.
Perkawinan antara sains (diwakili fakultas umum) dan agama (yang diwakili fakultas agama) di UIN Maliki Malang juga telah banyak melahirkan anak-anak yang berbentuk media baca, yang dalam hal ini buku. Sudah banyak buku-buku yang diterbitkan yang membahas permasalahan sains dan agama. Hal ini menandakan sains dan agama bukan lagi permasalahan yang patut diperdebatkan di UIN Maliki Malang, tapi bagaimana menerapkannya dalam kehidupan masyarakat kampus.
Tanggung jawab selanjutnya adalah membangun masyarakat kampus (civitas akademika) yang mencintai ilmu pengetahuan dan membentengi mereka dengan keimanan. Tentu saja dengan cara membuka informasi seluas-luasnya pada masyarakat kampus, dan terbuka terhadap kritik dan saran dalam hal pembangunan dengan tujuan untuk kepentingan bersama. Jika hal itu benar-benar dilaksanakan, UIN Maliki tidak menutup kemungkinan menggeser UIN Syarif Hidayatullah sebagai cermin bagi UIN, IAIN dan STAIN dan PTAI di Indonesia. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar