Selasa, 08 September 2009

Gombal Warming

Oleh : Liza Wahyuninto

Mengurusi lingkungan, itulah sebenarnya yang tengah diupayakan oleh masyarakat dunia saat ini. Bagaimana tidak, pertemuan UNFCCC di Bali menyatakan ada dua hal yang tengah menggerogoti bumi yang kita sepakat menyebutnya sebagai tempat tinggal utama di dunia ini meskipun telah ditemukan planet baru yang menurut para ahli juga dapat dijadikan tempat tinggal. kedua hal tersebut adalah climate change dan global warming.
Setiap tanggal 5 Juni kita hanya memperingati hari lingkungan hidup, tapi sekedar peringatan belaka. Refleksi sebentar, setelahnya pagelaran perusakan lingkungan, pesta penebangan pohon dan parade pembuangan sampah di sembarang tempat tetap kita lakukan. Tidak ada kesadaran dari diri individu akan pentingnya pelestarian lingkungan guna diwarisi oleh generasi mendatang.
Tidaklah sulit sebenarnya melakukan pengawalan terhadap lingkungan. Dibutuhkan tim yang kompak yang menyadari posisinya masing-masing, itulah kunci utamanya. Ibaratkan sepak bola, maka harus ada yang menjadi keeper yang mengawal agar bola tidak masuk ke gawang, pemain belakang yang menjaga agar striker lawan, pemain tengah yang menjadi penghalau sekaligus penyuplai bola, dan striker yang bekerja keras untuk menciptakan goal. Akan tetapi selama ini, kita selalu ingin menjadi striker yang selalu ingin menjadi pemangsa, hutan contohnya. Tapi tidak ada yang ingin menjadi penjaga gawang dan pemain belakang yang selalu menjaga hutan agar selalu hijau dan mengkampanyekan penanaman pohon.
Abdul Hadi WM, seorang penyair Indonesia dengan cerdas mengungkapkan “kita seharusnya malu kepada anak-cucu kita yang kita mulai mencuri hak yang seharusnya diwarisi dan dimiliki oleh mereka”. Ungkapan tersebut benar kiranya untuk melecut ke-timur-an kita yang dikenal dengan mengedepankan rasa malunya. Slogan “save our earth”, kampanye “tanam seribu pohon” tidaklah akan menjadi tugas bersama jika lingkungan masih belum dianggap sebagai bagian dari negara, keluarga dan diri melainkan dianggap sebagai barang komoditi yang harus dihabiskan.
Gagasan gila Gubernur Bengkulu, Agusrin Najamudin tentang visi dan misi membangun Bengkulu kiranya patut untuk diteladani. Dalam sambutannya pada saat silaturrahmi dan sarasehan Gubernur Bengkulu bersama Ikatan Keluarga Mahasiswa Bengkulu-Malang (IKMB-M) ia menyatakan bahwa “Semua harus dimulai dari akhir”, artinya bahwa kita harus tahu tujuan final dari apa yang hendak kita laksanakan. Agak gila memang, tapi rasional untuk dijadikan pijakan dalam menggawangi pelestarian lingkungan yang kian tidak menarik untuk dijadikan sebagai isu nasional.
Dua tahun sudah lumpur lapindo sidoarjo berjalan, selama itu pula tidak ada upaya maksimal yang dilakukan pemerintah – baik pusat maupun daerah – guna mengusahakan penutupan lumpur yang kian hari kian melebar. Kendati demikian selaku masyarakat yang sadar lingkungan kitalah yang harus menjadi penjaga gawang dan pemain belakang yang menghalau rencana-rencana besar pihak-pihak yang semakin tidak bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan. Semoga saja masyarakat dunia menganggap bahwa save our earth memang adalah agenda mendesak yang harus diupayakan untuk mengimbangi global warming dan climate change. Tapi yang terpenting, semoga agenda tersebut tidak dipelesetkan menjadi gombal warming!

Tidak ada komentar: