Kamis, 01 Juli 2010

Haruskah Menjadi Kartini (untuk) Memperjuangkan Emansipasi?

Liza Wahyuninto

Bulan April sudah menjadi agenda tahunan bagi wanita Indonesia untuk mengenang dan bersama merefleksikan perjuangan Raden Ajeng Kartini. Sejak ditetapkan oleh pemerintahan Orde Baru sebagai Hari Kartini, maka mulai saat itu pula, 21 April menjadi hari baru bagi wanita Indonesia untuk mengekspresikan. Semua wanita, mulai dari yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) sampai yang sudah duduk di kursi pemerintahan ikut merayakan hari bersejarah tersebut.
Kegiatan yang diadakan pun beragam, sesuai dengan tingkatan kelas dan di mana mereka berada. Mulai dari kegiatan membagikan bunga mawar dan ucapan Selamat Hari Kartini, aksi damai di jantung-jantung kota, berpakaian ala Kartini, hingga sampai pada mengadakan forum dan seminar-seminar yang mengusung semangat untuk melanjutkan perjuangan Kartini mewujudkan emansipasi bagi kaumnya. Dan uniknya, setiap tahun kegiatan tersebut selalu diupayakan untuk lebih meriah daripada tahun-tahun sebelumnya.
Sayangnya, momen seperti ini hanya dilakukan sehari saja di bulan April, pun satu kali dalam satu tahun. Dapat dikatakan puncaknya dapat dirasakan dan ditemui hanya pada tanggal 21 saja. Sebelumnya memang terlihat kesibukan-kesibukan mempersiapkan acara agar terlihat sempurna. Namun, pasca tanggal 21 kembali kepada kehidupan sebelumnya. Kartini, seolah dilupakan kembali siapa dia dan apa yang telah ia perjuangkan.

Memaknai Hari Kartini
Kita semua mengakui apa yang diperjuangkan oleh Kartini merupakan perjuangan yang tidak mudah. Pada zamannya, di mana wanita dianggap sebagai kelas kedua setelah laki-laki, Kartini berani menyuarakan kegelisahannya. Kartini berani meminta untuk disejajarkan dengan kaum laki-laki. Suatu pemikiran futuristik tentunya, berpandangan jauh ke depan. Pemikiran yang selama beberapa abad dipendam dan tidak ada satu wanita pun yang berani untuk menyuarakannya.
Lalu, pertanyaan pembukanya adalah bagaimana seharusnya memaknai hari Kartini? Kartini adalah fenomena. Zamannya menghendaki untuk melahirkan sosok wanita seperti Kartini. Sebagai pendulum (pendahulu) pastinya. Cara memaknai hari Kartini tentunya tidak sekedar ceremonial belaka. Bila Kartini masih hidup hari ini, tentu ia tidak menghendaki hari kelahirannya terlalu diagungkan, sementara perjuangannya dilupakan.
Yang penting bukan bagaimana cara merayakan hari kartini, tapi bagaimana cara melanjutkan perjuangan Kartini. Menyambung lidah Kartini. Melanjutkan catatan-catatan Kartini yang kesemuanya berisikan mimpi dan ide-ide besar bagi kemajuan kaumnya, yaitu wanita. Perayaan, dinilai penting iya, sebagai upaya untuk mengajak dan menyadarkan wanita Indonesia saat ini yang terkadang kehilangan kepercayaan diri. Namun, di balik itu, harus ada upaya yang lebih realistis untuk mewujudkan cita-cita Kartini.
Cita-cita Kartini sebenarnya hanya satu, terwujudnya emansipasi bagi wanita Indonesia. Namun, di balik emansipasi tersebut masih ada pekerjaan rumah yang menunggu untuk diselesaikan. Artinya, emansipasi bukanlah tujuan akhir. Tidak cukup wanita dan laki-laki disetarakan saja, tapi harus ada pembuktian berupa tidak lagi ditemuinya diskriminasi terhadap wanita dengan mengatasnamakan apapun.
Wanita saat ini tidak seperti dahulu. Sudah tampak dan dirasa jauh lebih maju. Sangat maju dibanding era Kartini. Wanita sudah dapat mengenyam pendidikan setinggi apapun ia mau. Wanita sudah dapat duduk pada jabatan apapun sesuai dengan kemampuan dan kapabilitasnya dalam bidang tersebut. Bahkan saat ini, wanita sudah tidak tabu lagi untuk menentukan arah tujuan hidupnya sendiri tanpa ada campur tangan dari kanan-kirinya.
Lantas, sudah cukupkah sampai di situ? Terwujudkah cita-cita Kartini? Jawabannya memang subyektif. Tapi, penulis berani menyatakan “belum!”. Cita-cita Kartini lebih tinggi dari itu. Saat ini masih ditemukan kesenjangan antara wanita dan laki-laki yang entah budaya atau sudah terstruktur dari awalnya, dan membutuhkan pejuang-pejuang wanita baru untuk mengawal hal tersebut. Dan namanya, tentu tidak harus Kartini.

Kartini Abad Modern
Setiap zaman memiliki ceritanya sendiri-sendiri, demikianlah peribahasanya. Semakin maju zamannya, maka akan semakin rumit permasalahannya. Tentu saja permasalahan yang baru, yang belum pernah ada pada zaman sebelumnya. Sejarah memang selalu mengulang, tapi tokoh-tokoh yang ada sebelumnya tidak akan terlahir kembali. Harus ada tokoh baru yang terlahir dan muncul untuk mengatasi permasalahan yang terjadi.
Nah, Kartini abad modern lah yang dibutuhkan. Kartini yang paham apa yang saat ini menjadi kegelisahan kaumnya. Kartini yang tanggap terhadap apa yang terjadi dengan kaumnya. Dan yang paling penting, adalah Kartini yang mengerti apa keinginan hati kaumnya. Siapa saja dapat menjadi Kartini abad modern ini, asalkan ia memiliki ketiga jiwa tersebut.
Kesenjangan, diksriminasi, pelecehan terhadap wanita, trafficking, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kesehatan reproduksi perempuan, meningkatnya angka kematian ibu, tingginya pemerkosaan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, ini semua merupakan Pekerjaan Rumah (PR) yang harus segera dituntaskan oleh Kartini abad modern. Ia bisa saja dari kalangan Pejabat Negara, Artis (selebritis), Budayawan, Guru, Aktivis Perempuan, Mahasiswi, atau hanya sekedar Ibu Rumah Tangga.
Yang penting bukan siapa dia dan jabatannya apa, tapi kemauannya untuk berjuang merubah dan mengatasi semua masalah yang muncul terhadap wanita Indonesia. Itulah yang utama. Tapi, ini tentunya juga akan utopis belaka, jika kemudian ia menjadi single fighter serupa Kartini lagi pada masanya. Untuk mewujudkan hal tersebut, harus ada kerja sama yang solid dari semua kalangan. Tidak harus wanita saja, keterwakilan laki-laki dapat pula menjadi peran pendukung untuk mewujudkan mimpi besar ini.
Kartini abad modern tidak harus sendirian. Ia tidak harus meretas jalan ulang kembali, karena jalan yang semula gelap telah diterangi oleh Kartini sebelumnya. Kartini abad modern adalah pelanjut yang cerdas, yang dapat membaca semua keadaan, membaca posisi, dan waktu yang tepat untuk bertindak. Selamat Hari Kartini, Majulah wanita Indonesia!

Tidak ada komentar: