Oleh : Zahra As-Sauda’ *)
Ia berlalu. Ia tinggalkan serpihan hatiku yang hancur-lebur berserakan di sudut mataku. Aku masih tak pula memahami apa yang sesungguhnya ia inginkan. Berulang kali aku jelaskan padanya, pada gadis itu, betapa aku sangat mencintai dirinya. Aku pun telah memohon padanya untuk –paling tidak- berpura-pura mengizinkanku memiliki dirinya seutuhnya. Meskipun aku tahu, sedetik pun aku tak bisa wujudkan harapanku itu. Dan karena itu, ia menolak. Ia tak mau itu. Ia tak inginkan itu. Ia hanya berkata tidak, kemudian diam, dan pergi.
Ku lihat ia berlalu begitu saja. Berjalan dengan begitu cepat. Seakan tak mengizinkan mataku memandang punggungnya yang begitu ingin ku dekap dan ku rangkul kembali. Mungkin ia berpikir aku akan mengejarnya. Menarikya dan memaksanya untuk turut serta bersamaku. Tapi ia salah. Tidakkah ia telah mengenalku? Aku begitu menyayangi dirinya, hingga ketakbersediaanya adalah ruh yang dapat menyambung hidupku, andai ia bersedia berkata tidak, memberi senyum manisnya yang begitu ku rindu. Walau pada akhirnya, jiwaku hanya akan semakin kosong. Dan hatiku menguap besama kepergiannya. Aku yakin, aku masih dapat menelan pahitnya cinta ini.
Gadis itu datang begitu saja dalam hidupku. Aku tak begitu mengenal dirinya, bahkan mungkin hingga kini, aku masih tak pula mengenal ia. Ia begitu berbeda dengan gadis lain yang pernah ku kenal. Aku tak pernah berfikir tuk tertarik padanya. Sama sekali tidak. Terutama, pada saat itu, aku masih terikat dalam sebuah komitmen bersama seorang gadis yang begitu elok jelita. Gadis elok itu miliki suara yang begitu merdu. Dan aku sangat beruntung miliki dirinya. Aku bangga ia ada di sisiku dan mengakui aku sebagai kekasihnya. Namun tanpa ku sadari, jarak antara diriku dan gadis yang kini berlalu begitu saja dariku, semakin menipis. Kekasihku tahu itu, ia marah, kemudian meninggalkanku.
Sejak saat itu, ia yang mengisi hari-hariku. Ia tanyakan keadaanku. Ia ingatkan aku untuk melakukan ini dan itu. Ia juga menyadarkan ku untuk tidak berlaku begini dan begitu. Ia begitu mencurahkan berjuta perhatiannya padaku. Ia mengisi setiap sudut hatiku yang begitu kosong semenjak orang tuaku meninggalkanku. Aku merasakan cinta yang begitu hangat memeluk diriku. Menyalurkan nafas kehidupan baru di paru-paruku. Memberikan tambahan tenaga untuk mampu mengarungi hidup yang ku kira akan segera berakhir.
“Aku gak bisa ada di dekatmu lagi.” Itu kalimat singkat yang ia katakan. “Aku tidak lagi bisa menanyakan kabarmu, mengingatkanmu untuk makan, juga memintamu untuk memeriksakan bekas luka di lenganmu yang kau keluhkan sering membuatmu terjaga di tengah malam, serta memohon padamu untuk pergi ke dokter gigi dan menambalkan gigimu yang kau bilang telah berlubang.” Ia menambahkan penjelasannya. Mungkin ia tahu aku terkejut dengan ucapannya. Segera ia minta berjuta maaf padaku. Kata yang sesungguhnya tak ku inginkan muncul dari bibirnya.
“Maafkan aku! Seharusnya aku sadar dari dulu, akan siapa sebenarnya diriku. Bagaimana budaya dan adat yang ku junjung. Serta betapa adat kita begitu berbeda, tak mugkin dijadikan satu.” Ia kini tertunduk. Ku kira ia menangis, tapi ternyata ia tidak menangis, sama sekali tidak ada air mata yang ia teteskan. Namun ia tertunduk. Aku tak tau apa yang sebenarnya ia rasakan. Aku tak pula mengerti apa yang kini ia pikirkan. “Aku tahu itu.” Aku mencoba membalas ucapannya. “Tapi, tidak bisakah…”
Belum aku tuntas kata yang hendak ku ungkapkan, ia mendongakkan kepalanya. Ku lihat matanya mulai membiaskan sinar redup lampu di café malam itu. “Mungkin kamu sanggup, jika perpisahan ini terjadi secara tidak baik. Kita tidak lagi berteman, mungkin kita akan saling menghujat dan menghina. Tapi aku tidak sanggup!” Ia hampir saja memekikkan jeritannya. Tapi ia menahannya. Hingga kulitnya yang berwarna sawo matang itu seakan meredup menjadi coklat bertabur merah darah.
“Aku ingin perpisahan ini terjadi seindah perjumpaan kita. Kita awali semuanya dengan baik, dan kita akhiri ini dengan baik pula.” Ia terdiam. Mungkin ia sedang menunggu balasanku. Tapi tidak. Aku tak sanggup berkata. Pikiranku begitu kosong. Aku tak pernah membayangkan bahwa perpisahan yang kerap ia bisikkan di telingaku, akan terjadi secepat ini. Aku tak pernah memikirkan akan kehilangan dirinya. Seseorang yang selama ini ku jadikan sandaran hidupku. Aku akan roboh. Aku pasrti akan roboh dan tersungkur. Mungkin mati.
“Aku tahu, Olka pasti bisa jalani kelanjutan hidup Olka tanpaku.” Kini ia mulai berbicara dengan begitu tenang. Sinar kedewasaan yang selalu kulihat dari sudut matanya, kini kembali bersinar. “Olka telah melakukan banyak hal hebat selama ini. Olka memberikan kebanggaan pada orang tua Olka. Olka menjadi orang yang dibutuhkan oleh orang-orang di sekitar Olka. Dan Olka yang sekarang di depanku, adalah Olka yang berbeda dengan Olka yang satu setengah tahun yang lalu ku kenal. Olka yang sekarang sudah dapat mengendalikan emosi. Olka akan berhasil, benar-benar berhasil.”
Aku tak ingin menyelanya berbicara. Ia tak pernah berbicara sebanyak itu. Sekalipun. Tapi tak bisa. Aku ingin dia tahu. “Aku gak akan sanggup! Tidak akan!” Kataku. Ia hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian ia menundukkan lagi kepalanya. Aku semakin bingung melihat tingakahnya itu. Aku butuh ia. Sangat!
“Olka, ku mohon!” ia berbicara lagi. Namun ia masih tetap menunduk. “Ku mohon! Ini akan semakin berat untukku, juga untukmu.” Ia terdiam sesaat. Ku dengar ia menarik nafas panjang. Dan, “Hubungan kta tak pernah bernama. Kita hanya saling menjaga, saling mengerti, juga saling memahami.” Ia begitu tenang mengungkapkan kata-kata yang tersusun begitu teratur dan indah. Meski ku dengar suaranya begitu parau. Seakan ada tali yang mengikat lehernya.
“Aku hidup di lingkungan yang sama sekali berbeda dengan lingkunganmu. Perempuan dari golonganku, tidak diizinkan berhubungan dekat dengan lelaki manapun, terutama dengan lelaki yang berasal dari luar golonganku.” Mugkin ia tahu aku tersinggung dengan kata-katanya. Seperti yang aku tahu, ia tak pernah berharap, siapapun terluka sebab perkataannya. Karena itu, ia sesegera mungkin memperjelas perkataannya.
“Ini bukan tentang pembedaan derajat manusia. Tidak pula tentang pantas atau tidak. Juga bukan tentang betapa sombongnya aku dan golonganku. Tetapi ini adalah tentang bagaimana aku membawa obor tradisi yang kini sedang mulai meredup di genggamanku. Tentang bagaimana aku menjaga tradisi ini, sebagai kehormatan keluargaku. Hanya itu.”
Aku lagi-lagi terdiam. Ingin sekali ku paksa ia melihat mataku yang mulai memerah menahan duka yang tak kuasa ku pikul. “Jika, seandainya rasa yang ada pada diri kita adalah benar yang sebagaimana manusia namakan sebagai cinta. Maka, cinta kita tak mungkin terjalin. Tidak mungkin terjalin bersama, tak mungkin terjalin, selamanya….” Ia diam. Tak lagi berkata. “Aku tahu! Aku tahu! Aku tahu itu!” Aku meneriakkan ketak sanggupanku menerima kenyataan ini dengan menyandarkan kepalaku di bahunya. “Maafkan aku, Olka!” Ku dengar ia berisak. Isakan pertamanya di hadapanku. Mungkin juga yang terakhir.
“Aku tahu ini berat, sangat berat. Tapi ini juga yang terbaik bagi kita, hanya sampai sini jalan yang bisa kita lalui bersama. Kita berpisah di persimpangan ini.” Ia menungguku menyingkirkan kepalaku dari bahunya. Sejenak ia pandang tajam ke dalam mataku. Ku lihat bekas air mata yang membasahi sekitar matanya. Bulu matanya yang cukup lentik tampak basah dan semakin kelam. Tanpa ku duga. Ia kecup keningku dengan begitu lembut. Ku dapat rasakan isi hatinya, yang utuh, yang berduka, yang akan selalu ku rindu, dan selalu merindukanku.
Kini, aku paham ia. Meski aku masih tak mengerti. Mungkin karena aku tak mau mengerti. Ia hanya ingin jalankan tugasnya. Menghidupkan tradisi di masyarakatnya. Menjaga sesuatu yang manusia modern anggap sebagai sesuatu yang kuno. Sesuatu yang dianggap tak lagi pantas ada di kehidupan global ini. Bagian dari hidup manusia. Kebudayaan, tradisi, juga adat. Yang kian hari, semakin dijadikan musuh peradaban modern. Bukan karena ia anggap aku sebagai sebuah mainan, atau hanya sebuah titik di hidupnya. Namun, seharusnya aku tahu, bahwa aku pernah menjadi nyawa hidupnya. Sebuah detak yang menyambung hidupnya. Begitu juga hadirnya di sisiku.
Malang, Februari 2008
*)Cerpernis anggota Komunitas Sayap-Sayap Sastra (KS3) dan anggota UKM LKP2M (Lembaga
Kajian, Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa) UIN Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar