Kamis, 04 Desember 2008

Bung Tomo: Putra Bangsa Yang Terlupakan


Judul : Menembus Kabut Gelap (Bung Tomo Menggugat)

Penulis : Sutomo (Bung Tomo)

Penerbit : Transmedia Pustaka Jakarta

Pengantar : Arbi Sanit

Cetakan : I, Januari 2008

Tebal : xi + 247 halaman

Peresensi : Liza Wahyuninto*)


Saoedara-saoedara ra’jat djelata di seloeroeh Indonesia, teroetama, saoedara-saoedara pendoedoek kota Soerabaja Kita semoeanja telah mengetahoei bahwa hari ini tentara Inggris telah menjebarkan pamflet-pamflet jang memberikan soeatoe antjaman kepada kita semoea. Kita diwadjibkan oentoek dalam waktoe jang mereka tentoekan, menjerahkan sendjata-sendjata jang kita reboet dari tentara djepang.

Sepenggal pidato heroik Bung Tomo di atas seolah baru kemarin ia teriakkan untuk mengusir penjajah dari bumi Jawa Timur. Tapi teriakkan yang mampu membuat musuh merinding dan heroik tersebut tidak mampu membuat pemerintah untuk mengakuinya sebagai pahlawan nasional. Hingga kini gelar pahlawannyapun masih digantung, sebagaimana tergantungnya cita-cita Bung Tomo akan kemerdekaan abadi Indonesia.

Bung Tomo merupakan salah satu tokoh yang mampu membakar semangat rakyat Indonesia setelah Bung Karno. Keduanya merupakan tokoh yang pandai dalam membangkitkan semangat juang para pejuang Indonesia untuk meraih satu kata, Merdeka. Keduanya juga sama-sama memiliki keahlian dalam berpidato, namun gelar Singa Podium terlanjur diberikan kepada Bung Karno.

Bung Tomo yang lahir sebagai Arek Suroboyo pada tanggal 3 Oktober 1920, sangat erat hubungannya dengan peristiwa 10 November yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Dialah yang dengan teriakan khasnya “rawe-rawe rantas malang-malang tuntas” dan pidato-pidatonya yang retoris, ia berhasil membakar semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA. Akan tetapi sangat disayangkan, keberhasilan dan jerih payahnya tersebut hingga kini belum menggugah pemerintah untuk memberi gelar pahlawan nasional kepadanya.

Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia.

Namun, mengenai belum diberikannya gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo, Sulistyowati, istri Bung Tomo tidak terlalu mempermasalahkan. Baginya, biarlah rakyat yang mengenang dan mengakui kepahlawanannya. Bahkan anaknya, Bambang Sulistomo mengatakan “kami tidak akan pernah memohon”. Ungkapan dari pihak keluarga cukup mewakili bahwa bahwa diberikan atau tidak gelar pahlawan kepada Bung Tomo, masyarakat sampai kapanpun akan tetap menilai bahwa Bung Tomo adalah pahlawan nasional.

Memang ada alasan mengapa hingga kini Bung Tomo belum mendapat gelar pahlawan nasional, yaitu ada persyaratan administrasi yang belum dipenuhi untuk mengusulkan Bung Tomo menjadi pahlawan nasional. “Bung Tomo belum diseminarkan di daerah”. Naif memang, Bung Tomo yang tidak dapat dipisahkan ketokohannya dengan hari pahlawan masih dinilai belum memenuhi persyaratan administrasi yang ditetapkan oleh Departemen Sosial bagian Kepahlawanan, Kejuangan, dan Keperintisan.

Bung Tomo memang terkenal dengan sikap kritisnya, ia tidak pernah takut mengkritik pemimpin yang menurutnya kurang bersikap tegas. Buku Menembus Kabut Gelap (Bung Tomo Menggugat) ini merupakan himpunan surat Bung Tomo yang ditujukan kepada pemerintahan pada saat itu. Surat-surat itu berisikan permintaan, kritik, saran atau tanggapan atas sikap pemerintah.

pada awal 1970-an, ia berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Bahkan karena kritik yang berlebihan terhadap program-program Presiden Soeharto, pada 11 April 1978 ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras. Namun, kesemua kritik yang dilontarkannnya bukanlah untuk membesarkan namanya di kancah politik. Melainkan untuk kebesaran bangsa dan mengawal pembangunan.

Buku Bung Tomo Menggugat ini hadir di tengah masyarakat sudah kurang respon terhadap sejarah. Masyarakat Indonesia hari ini lebih senang “melahap” buku-buku yang bercerita masa depan, sementara buku sejarah apalagi sejarah bangsa Indonesia dan tokohnya enggan untuk dilirik. Masyarakat tidak lagi tertarik kepada sejarah karena menilai bahwa sejarah sudah tuntas dibaca di sekolah. Padahal, selama tokoh-tokoh, kerabat dan teman pelaku sejarah tersebut masih hidup, maka sejarah akan kian tersibak.

Kiranya perlu untuk memperkaya diri kembali dengan khazanah sejarah, terutama sejarah Indonesia yang diungkap langsung oleh tokoh yang terlibat di dalamnya. Karena, hingga hari inipun masih minim teks asli mengenai sejarah Indonesia. Sebagaimana buku Bung Tomo Menggugat ini, diperlukan keikhlasan dan bantuan pihak keuarga untuk mendaur ulang, mengingat kembali dan diceritakan agar dituliskan untuk diketahui oleh semua rakyat Indonesia.

Kiranya Bung Tomo cukuplah yang menjadi tokoh terakhir yang nasibnya tidak diperhatikan, disendirikan dalam kesepiannya. Padahal tidak dapat dipungkiri, ketika dikibarkannya bendera merah putih pada tanggal 10 Nopember yang diperingati sebagai Hari Pahlawan, nama Bung Tomo adalah nama pertama yang harus disebut dalam daftar nama-nama pahlawan yang berperan pada saat itu.

Tidak bijak pula kiranya menyalahkan pemerintah dalam pemberian gelar terhadap pahlawan yang belum sempat mendapatkan gelar, yang terpenting saat ini adalah memunculkan kembali sikap heroik sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Bung Karno meskipun itu hanya lewat pidato retorik sekalipun. Tidak hanya itu, kita juga selayaknya memagari RUU tentang Gelar dan Tanda Jasa/Kehormatan agar tidak disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.

Selayaknya RUU Gelar dan Tanda Jasa/Kehormatan disambut dengan baik dengan selalu mengawal agar memberikan gelar dan tanda jasa kepada mereka yang benar-benar berjasa kepada negara. Jangan sampai RUU ini nanti mengorbitkan nama-nama atau tokoh yang sama sekali tidak dikenal oleh rakyat Indonesia.

Akhirnya, buku ini kiranya pantas untuk disandingkan dengan buku-buku sejarah lainnya, terutama untuk membuka kembali ingatan akan tokoh-tokoh yang hingga kini belum sempat diabadikan namanya bergelar pahlawan nasional.

Sebagai penutup, Teriakkan Bung Tomo pada saat peristiwa 10 Nopember di Surabaya perlu untuk kembali direnungi agar dapat diambil semangatnya. Saoedara-saoedara ra’jat Soerabaja, siaplah keadaan genting tetapi saja peringatkan sekali lagi, djangan moelai menembak, baroe kalaoe kita ditembak, maka kita akan ganti menjerang mereka itu. Kita toendjoekkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka. Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka. Sembojan kita tetap: MERDEKA atau MATI.


*) Liza Wahyuninto, Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Malang. Peneliti ahli pada Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa.

Tidak ada komentar: