Rabu, 19 November 2008

Aisyah Abd. Rahman Bint al-Syathi’

Oleh : Liza Wahyuninto

Terlahir ke dunia yang fana ini pada tanggal 06 November 1913 di sebuah Desa yang bernama Dumyat. Ayahnya Abd. Rahman adalah seorang sufi dan juga selaku guru teologi di Dumyat. Diberi nama kecil Bint al-Syathi’ (anak pantai) dikarenakan sedari kecil ia menghabiskan waktunya di pantai untuk belajar.
Pada saat Sekolah Dasar pertama kali ia belajar bahasa Arab kepada Syekh Mursi. Pendidikannya tergolong lancar, jenjang pendidikannya pun normal sebagaimana tokoh-tokoh kenamaan lainnya. Ia meraih gelar LC (Licence) dalam bidang sastra dan bahasa Arab pada tahun 1939, dan di universitas yang sama pula ia meraih gelar master pada tahun 1941. Gelar Doktoral-nya diraih pada tahun 1950 dengan disertasi al-Ghufron li Abu al-A’la al-Ma’ari.
Selama masa belajarnya di universitas, sejak Sarjana tingkat awal ia telah menjadi guru di sebuah SD perempuan di al-Manshuriyyah pada tahun 1929. Dan karena keuletannya pada tahun 1932 ia diangkat menjadi supervisor di sekolah tersebut. Barulah pada tahun 1939 ia kemudian diangkat menjadi asisten Lektor di Universitas Kairo. Di samping menjadi Lektor ia juga menjadi Inspektur bahasa Arab dan kritikus sastra di Koran al-Ahram, ini dimulainya sejak tahun 1942. barulah pada tahun 1950 ia menjadi Lektor bahasa Arab di Universitas ‘Ain al-Syams. Keberhasilannya menjadi Lektor menjadi sorotan oleh para guru besar di universitas tersebut, hingga pada tahun 1957 ia menjadi asisten Profesor, dan akhirnya pada 10 tahun kemudian (1967) ia meraih gelar professor sastra Arab.
Sejak masa sekolah menengah pertama ia telah menunjukkan mibnat pada jurnalistik. Minat tersebut kemudian disalurkannya dengan mengikuti organisasi di bidang jurnalistik. Dan sesuatu apapun jika dilakukan dengan sungguh-sungguh tidak akan ada ruginya. Pada tahun 1933 ia menerbitkan majalah al-Nahdah an-Nisa’iyyah dan sekaligus menjabat redaktur pada majalah tersebut.
Ia telah menulis artikel sejak pada pendidikan lanjutan. Karena pada saat itu masih kental permasalahan pelecehan terhadap gender (perempuan dipandang sebagai orang kedua), saat menulis ia memakai nama samaran yaitu Ibnu al-Syathi’.
Minat akan tafsir dimulainya sejak pertemuan dengan Prof. Amin al-Khulli yang kemudian menjadi suaminya. Tidak mengherankan, pertemuan antara kedua tokoh besar ini kemudian menghasilkan pemikiran terbaru dan ideal (pada zamannya hingga saat ini) akan metode tafsir al-Quran.
Pada tahun 1962 ia menertbitkan buku pertamanya al-Bayan li al_Quran al-Karim I. Dari karya awal ini, kemudian banyak terlahir karya-karya besar seperti; Kitabuna al-Akbar (1967), at-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim II (1969), Maqal fi al-Insan Dirasah Qur’aniyyah (1969), al-Qur’an wa at-Tafsir al-‘Asri (1970), al-‘Ijaz al-Bayani li al-Qur’an (1971) dan al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah Dirasah al-Qur’aniyah (1973).
Mengenai pemikirannya akan al-Qur’an dan tafsir ia berpendapat bahwa :
- al-Quran itu menjelaskan dirinya sendiri
- al-Qur’an harus dipelajari dan dipahami keseluruhannya sebagai suatu kesatuan dengan karakteristik ungkapan dan gaya bahasa yang khas
- Penerimaan atas tatanan kronologis al-Qur’an dapat memberikan keterangan sejarah mengenai kandungan al-Qur’an tanpa menghilangkan keabadian nilainya
Pemikirannya ini kemudian melahirkan metode memahami al-Qur’an secara obyektif , diambil dan dikembangkan dari prinsip metode penafsiran Amin al-Khulli yang terdiri dari 4 langkah :
1. Mengumpulkan semua surat dan ayat yang berkaitan dengan topic yang akan dipelajari
2. Surat dan ayat disusun sesuai dengan kronologi pewahyuan
3. Untuk memahami petunjuk lafadz, karena al-Qur’an menggunakan bahasa Arab, maka dicari petunjuk dalam bahasa aslinya yang memberikan rasa kebahasaan bagi lafadz-lafadz yang digunakan serta berbeda, kemudian disimpulkan petunjuknya dengan meneliti segala bentuk lafadz yang ada di dalamnya. Di sini digunakan analisis bahasa (semantik).
4. untuk memahami pernyataan yang sulit, harus berpegangan pada makna nash dengan semangatnya (maqasid asy-syar’i), kemudian dikonfrontasikan dengan pendapat para mufassir.
Bint al-Syathi’ juga memberi kritik terhadap metode tartil, ia menilai teori ini lemah karena;
- Ia menilai bahwa metode tartil memperlakukan ayat secara atomistic
- Kemungkinan masuknya ide mufasir sendiri yang tidak sesuai dengan maksud ayat yang sebenarnya
Namun, hal yang paling disayangkan adalah metode tafsir yang jelas-jelas terlahir dari pemikiran Aisyah Abd. Rahman Bint. Al-Syathi’ ini kemudian diklaim sebagai metode Yusuf al-Qardlawi. Hal ini dikarenakan status gender Bint al-Syathi’ adalah perempuan dan dinilai tidak layak untuk menjadi tokoh besar. Padahal Yusuf al-Qardlawi hanya mengutip pernyataan-pernyataannya Bint al-Syathi’, dan kemudian menjadi penerus pemikirannya. Yusuf al-Qardlawi tidak sezaman dengan Bint al-Syathi’, ia adalah junior dari Bint al-Syathi’. Namun metode Bint al-Syathi’ yang diklaim pemikiran al-Qardlawi tidak sebaik pemikiran orisinilnya Bint al-Syathi’.
****
Hanya orang-orang terpilih yang pantas untuk dikenang dan diberi pujian

Teratai Mesir
(ditulis untuk mengenang 94 tahun kelahiran Aisyah Abd. Rahman Bint al-Syathi’)
Terlahir sebagai perempuan
Tak buat kau kecil hati tuk lahirkan sebuah pemikiran
Bukan gelar yang kau cari
Tapi memudahkan sebuah kesukaran

Pantai kecil yang jadi saksi keuletanmu,
Kini slalu jadi pengiring namamu
Masa remajamu,
Kau tukar dengan mengarungi lautan pena
Demi pemahaman akan ilmu,
Sang guru kau angkat sebagai pembimbing hidupmu

Awalnya memahami makna itu sukar
Kau beri tangga agar mudah tuk menjangkaunya
Lembut dalam sikap
Namun tegas dalam pemikiran

Kau bilang al-Quran menjelaskan dirinya sendiri
Dengannya, kau ciptakan metode tafsir yang ideal
Sayang, karena status gender
Pemikiranmu diklaim milik tokoh yang bahkan tak sezaman denganmu

Kini, 94 tahun setelah kelahiranmu
Al-Syathi’-mu masih jadi saksi
Tumbuhnya teratai di Mesir
Kerjamu memang belum usai
Tetapi sebuah kemajuan untuk berani memulai
06 November 2007

Tidak ada komentar: