Memaknai Ulang Sastra Surat Kabar
Oleh : Liza Wahyuninto*)
Bukan kali yang pertama mempolemikkan sastra surat kabar atau lebih akrab dengan sebutan sastra koran yang kehadirannya telah menjadi genre sastra tersendiri. Sastra surat kabar setidaknya telah diakui sebagai sastra baru dengan segala keunikannya dan penulisnyapun dibaiat mendapat predikat sastrawan oleh pembacanya. Tapi tulisan ini tentu tidak menarik jika hanya mendebat para sastrawan surat kabar saja tanpa menguraikan karya yang dihasilkannya.
Ada baiknya memang di setiap media cetak menyediakan laman budaya yang memuat kolom essai, cerita pendek (cerpen), dan puisi. Di samping menambah sumber bacaan baru bagi pembaca di tengah hiruk pikuk berita yang menyajikan informasi mengenai politik, ekonomi, pendidikan, life style, dan sebagainya, laman budaya juga menjadi lahan baru bagi para penulis pemula untuk mencari peruntungan dengan mengirimkan karyanya.
Akan tetapi, seringkali tugas yang kedua ini belum terpenuhi. Laman budaya seringkali menjadi semacam ajang sapa bagi para penulis kenamaan, tempat mempolemikkan karya teman seangkatan agar bukunya dibeli oleh masyarakat, dan kadang tidak memberi ruang bagi para penulis pemula yang kelak akan menggantikan mereka.
Kualitas Sastra Surat Kabar
Pada awal tahun 2008 kita patut “angkat topi” pada Pena Kencana yang mengangkat sastra surat kabar dengan memberikan Anugerah Pena Kencana pada 100 puisi dan 20 cerita pendek terbaik yang pernah di muat di media massa. Meskipun Anugerah Pena Kencana juga masih menyisakan polemik, tapi ada satu hal yang bisa diambil sebagai kesimpulan bahwa sastra surat kabar sudah diperhitungkan.
Nah, setelah bermunculan nama-nama sastrawan lama dan baru disurat kabar, tugas yang kedua adalah menemukan kualitas karya mereka. Karena diakui atau tidak, saat ini surat kabar memiliki peran besar dalam mengangkat nama seorang sastrawan. Bahkan, menurut Sawali Tuhusetya dalam “Sastra Koran vs Sastra Cyber”, “Kompas kini dianggap menjadi “barometer” perkembangan sastra mutakhir. Tak heran jika ada yang bilang, jangan mengaku dirinya sebagai seorang pengarang apabila karyanya belum dimuat di koran nasional itu.”. hal inilah yang kemdian bagi sebagian penerbit, sastra surat kabar menjadi tolok ukur sendiri untuk mengukur tingkat kapabilitas seorang sastrawan yang menginginkan karyanya diterbitkan sebagai buku.
Menjadi tugas berat editorlah untuk menemukan kualitas tersebut. Tentu saja yang pernah dimuat di surat kabar adalah yang berkualitas bagi editor surat kabar tersebut. Tapi perlu ada pengawasan dari para akademisi sastra yang dalam hal ini kritikus sastra untuk memberikan penilaian terhadap karya yang pernah dimuat. Sayangnya, kolom bagi kritikus sastra sangat terbatas bahkan dapat dikatakan tidak ada di surat kabar. Akhirnya, kualitas sastra surat kabar tergantung selera dari editornya masing-masing.
Padahal, peran dari kritikus sastra sangatlah penting. Kita seharusnya tidak melulu memuat banyak karya tapi tidak berkualitas. Sedikit mengurai perjalanan perkembangan sastra Indonesia, peran kritikus hanya dinikmati semasa H. B. Jassin saja. Setelah itu, hampir tidak ditemukan kembali kritikus sastra yang kapabel di Indonesia. Hal ini mungkin karena tidak ditopang dengan menyediakan kolom kritik sastra di laman budaya pada surat kabar.
Dus, mengukur kemajuan sastra Indonesia seharusnya dengan barometer banyaknya sastrawan beserta kualitas karya yang dihasilkan didukung dengan adanya kawalan dari kritikus sastra yang bertugas sebagai “polisi sastra” dan peletak genre sastra Indonesia. Jadi diharapkan laman budaya pada surat kabar tidak hanya berhasil menemukan Chairil Anwar yang baru tetapi juga menemukan ribuan “Paus Sastra” macam H. B. Jassin yang anyar pula.
Sastra Cyber dan Masa Depan Sastra Surat Kabar
Banyak ulasan baik di koran maupun internet berbicara mengenai masa depan sastra surat kabar dengan membenturkannya dengan sastra cyber. Sastra koran dinilai oleh sebagian kalangan tidak relevan lagi dengan zamannya. Sebenarnya bukan tidak relevan lagi, tapi sulit untuk ditembus dan akhirnya banyak para penulis mengalihkan karya mereka dengan membuat blog sendiri atau mengirimkan ke blog sastra ternama. Dan posisi ini kemudian dimanfaatkan bagi pengelola blog untuk bersaing baik dengan sesama blog sastra bahkan dengan media cetak/koran.
Ada beberapa alasan tentunya mengapa banyak penulis mengalihkan karya mereka dari koran menuju cyber/blog. Pertama, surat kabar enggan untuk memasukkan karya penulis baru. Kedua, sastra blogger dapat diakses oleh siapa saja dan di mana saja, berbeda dengan koran yang hnaya dapat dibaca oleh kalangan tertentu dan tempat tertentu. Ketiga, di blog, para penulis dapat bertegur sapa bahkan mengelompokkan diri dengan membentuk komunitas-komunitas baru.
Tentunya dalam kualitas, sastra surat kabar lebih diakui kualitasnya meskipun terkadang di sastra cyber banyak pula ditemukan karya-karya yang berkualitas. Namun, karena sastra cyber tidak ada proses editing oleh editor sehingga sastra cyber lebih terlihat serampangan. Tidak salah kemudian muncul pernyataan bahwa sastra cyber tidak dapat dimasukkan ke dalam genre sastra karena bukanlah karya sastra.
Akan tetapi, mengutip pernyataan dari Redaksi Newsletter Hawe Pos Edisi Cultural Studies 21/Maret/VI/2007 “terlepas dari perdebatan soal kualitas dari karya sastra cyber, kehadiran situs-situs online atau blog dapat menjadi alternatif bagi para penulis untuk mengekspresikan karyanya secara lebih leluasa tanpa harus terikat kepada bentuk baku yang ada di media mainstrem. Pada gilirannya nanti, kehadiran sastra cyber ini dapat mewarnai perkembangan dunia sastra Indonesia yang masih stagnan. Setidaknya langkah ini sudah dimulai, dan tak mustahil dominasi sastra yang selama ini dikendalikan oleh media cetak akan segera berakhir digantikan oleh sastra cyber”.
Demi terwujudnya kualitas sastra Indonesia, kiranya baik editor sastra surat kabar dan pengelola sastra cyber dapat memikirkan ulang mengenai karya-karya yang akan dikonsumsi oleh pembacanya. Sastra Indonesia baru satu kali masuk finalis penghargaan nobel sastra dunia lewat Pramoedya Ananta Toer, dan jika kita terus menjaga kualitasnya tidak menutup kemungkinan pada tahun-tahun mendatang nobel sastra akan diraih oleh sastrawan Indonesia. Semoga.
*) Liza Wahyuninto, Penikmat dan Peneliti Sastra pada Institute of Studies Researches, and Development for Student (ISRDS) Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar