Oleh : M. Wildan Habibi
Kerap kali puisi-puisi relegius semacamnya terdengar di awal bulan Desember setiap tahun di Turki. Dan kota itu pun semakin semarak saja pada tanggal 17 Desember, karena malam itu adalah malam puncak sebuah festival. Malam yang disebut dengan "Sheb-I Arus" yang berarti "Malam Perkawinan". Yaitu pertemuan seorang hambanya dengan Tuhannya. Malam itu adalah tepat malam wafatnya seorang sufi besar Maulana Jalaluddin Rumi. Dia adalah seorang filosof dan ahli mistis Islam, yang juga dikenal lewat syair-syair relegiusnya. Syair-syair yang kini lagi digandrungi banyak tokoh Eropa dan Amerika.
Disebut ahli mistis, karena selain puisi-puisinya yang relegius dia menemukan cara untuk mendaki pada tingkat ekstase untuk merasakan kahadiran Tuhan. Suatu tingkatan yang boleh dikatakan mabuk Tuhan. Sebuah perasaan yang penuh dan hanya disadarkan oleh kehadiran Tuhan dalam dirinya.
Sebuah tingkatan yang didapat melalui sebuah ritual para sufi. Ritual para sufi ini berupa tarian berputar yang diringai musik dan pembacaan syair-syair milik Rumi atau sufi yang lain. Musik ini dapat dikatakan sebagai musik yang tak kalah dengan composisi musik klasik Barat. Para sufi berputar tak henti-henti tanpa daya. Mereka berputar mengitari porosnya masing-masing. Dan saat itu mereka mendengarkan, menari dan bersenandung syair-syair, yang juga diikuti doa-doa pendek. Kegiatan ini disebut dengan Sema, yang bertunjuan untuk mencapai tahapan relegius emosi dan ekstase.
"Menari tidaklah menyerah pada rasa sakit, seperti butiran debu yang tertiup berputar dalam angin. Menari adalah ketika bangun di dua dunia, menyobek hatimu menjadi serpihan-serpihan dan membangunkan jiwamu," kata Rumi. Tentang tarian ini Rumi menggambarkan "Seperti gelombang di atas putaran kepalaku, maka dalam tarian suci Kau dan aku pun berputar. Menarilah, Oh Pujaan hati, jadilah lingkaran putaran. Terbakarlah dalam nyala api-bukan dalam nyala lilinNya" Kalau orang tahu bagaimana sejarahnya, mungkin orang tidaklah heran mengapa Rumi dapat menciptakan karya-karya yang hebat. Dari kecil dia memang mendapatkan pelajaran agama dan spiriual dari ayahnya. Dan sampai dewasa pun dia bertemu dengan orang-orang yang belajar dan mengajarkan padanya tentang dunia spiritual.
Kehidupan Rumi
Rumi yang nama aslinya Jalaluddin Muhammed Ibn Muhammad, dilahirkan di Balkh (Afganistan) pada tahun 1207 dari keluarga yang mendalami agama Persia. Ketika kanak-kanak, keluarganya meninggalkan Balkh karena serangan penjajahan Mongol. Akhirnya mereka menetap di Konya, Turki, yang kemudian menjadi Ibu kota Raja Seljuk. Ayahnya adalah seorang guru keagamaan yang besar yang mengajar di Universitas di Konya.
Rumi dididik keagamaan secara pribadi oleh ayahnya sendiri. Setelah itu, pendidikannya diambil alih oleh sahabat ayahnya, Syaid Bahaudin, saat menjelang kematiannya. Selama 9 tahun, Rumi mendapat bimbingan yang keras dan ketat dari Bahaudin tentang pengetahuan tahapan-tahapan kenabian. Yang dimulai dengan pengasingan yang ketat selama 40 hari yang dilanjutkan dengan beberapa meditasi dan puasa. Dan selama itu, Rumi juga belajar selama empat tahun dari Aleppo dan Damascus, tokoh religi besar pada waktu.
Saat yang paling monumental adalah pertemuannya dengan Shams dari Tarbriz dalam usia 37 tahun. Shams adalah seorang pengembara yang mendalami dunia spiritual (sufi). Banyak literatur yang menulis tentang hubungan mereka berdua. Saat itu, Rumi dikenal sebagai profesor terkenal dibidang religi dan pencapaian mistis tingkat tinggi; setelah dia menjadi penyair dan pecinta kemanusiaan.
Pertemuan Rumi dengan Shams dapat dibandingkan dengan pertemuan Abraham dengan Melchizedek. Shams adalah pembakar api dan Rumi adalah penangkap api. Mereka bagai cermin yang sempurna bagi keduanya. Selama 10 tahun bersahabat dengan Shams, Maulana secara spontan membuat syair dan dikumpulkan dalam sebuah buku yang lebar Divan-I Kabir.
Sementara itu, Rumi juga telah mengembangkan tingkatan spiritual yang lebih dalam dengan bersahabat dengan Husameddin Chelebi. Keduanya saat itu sedang mengembara di Kebun anggur Meram di luar Konya suatu hari ketika Husameddin menggambarkan idenya pada Mualana," Jika kamu menulis sebuah buku seperti Ilahiname milik Sanai atau Mantik'ut-Tayr'I milik Fariduddin Attar itu akan menjadi sekumpulan banyak penyanyi keliling. Mereka akan mengisi hatinya dari pekerjaanmu dan gubahan musik untuk mengiringinya."
Maulana tersenyum dan mengambil secarik kertas dari lipatan surbannya yang berisi 80 baris dari Mathnawi-nya, dimulai dari;
Dengarkan harapan dan dongeng yang diceritakan
Bagaimana itu menyanyikan perpisahan…
Sejak saat itu, Chelebi-lah yang menuliskan sajak-sajak Rumi ketika dia mendeklamasikannya. Proses ini sempat digambarkan oleh Husameddin:"Dia tidak pernah menyentuh pena ketika menciptakan Mathawi. Dimanapun dia berada, di sekolah, di taman, kolam renang di Konya, atau di kebun anggur Meram, aku menulisnya saat dia mendeklamasikannya, siang dan malam dalam beberapa hari. Dilain waktu dia tidak menciptakan dalam waktu beberapa bulan, dan sekali dalam dua tahun tidak ada apa-apa. Setiap penyempurnaan dari tiap buku aku membacanya kembali padanya, sehingga dia dapat membenahi apa yang telah ditulis." Mathnawi adalah karya spiritual terbesar yang pernah ditulis manusia.
Mathnawi berisi penuh dengan spektrum kehidupan di dunia, setiap kegiatan manusia; religi, budaya, politik, sex, perdagangan; setiap karakter manusia dari yang vulgar sampai yang halus. Hingga seperti tiruan dari dunia yang secara detail, sejarah dan geografi. Juga sebuah buku yang menampilkan demensi vertikal dari kehidupan -dari nafsu keduniawian, kerja, dan level paling mulia dari methafisik dan kesadaran cosmis. Itu sebuah kesempurnaan yang mempesona kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar