Kamis, 16 April 2009

KOMUNIKASI POLITIK ENAM PEMIMPIN INDONESIA


Penulis : Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M. A
Judul Buku : Dari Soekarno Sampai SBY (Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa)
Penerbit : Gramedia Pustaka
Cetakan : 2009
Tebal : XXX + 398 Halaman
Peresensi : Liza Wahyuninto*)

Sudah 6 (enam) kali negeri ini berganti pemimpin, enam kali pula negeri ini mengalami gaya komunikasi yang berbeda. Namun, yang menjadi pertanyaan bukan bagaimana pola komunikasi mereka saja, tapi Indonesia belajar apa dari enam pemimpin tersebut? Mereka yang mendapat predikat sebagai “orang nomor satu di Indonesia” yang dimulai dari Ir. Seokarno hingga pada Dr. Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan sumbangsih apa mengenai dunia komunikasi politik Indonesia? Itulah yang menjadi pertanyaan utama di tengah panasnya pergolakan politik menjelang pemilihan umum 2009.

Soekarno, sosok yang mampu menginjeksi jiwanya dengan berbagai pengetahuan politik dan dengan gagasan intelaktualnya yang tidak pernah kering dari dalam pikirannya. Ia bahkan mampu menghipnotis mata dan pikiran hadirin sehingga orang yang mendengarkan pidato retorisnya tidak merasa bosan karena terpaku pada kewibawaanya. Faktor power tentu memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kobaran komunikasi politiknya, yang membuat orang menyeganinya baik kawan maupun lawan. Serta kebencianya terhadap Neo Kolonialisme dan Imprialisme (NEKOLIM) misalnya, sudah tertanam sejak muda dan patut diacungi jempol atas kegigihanya mewujudkan indonesia yang adil dan makmur.

Usai kepemimpinan Bung Karno kita beralih kepada komunikasi politik Soeharto yang berkuasa lebih dari 25 tahun. Tidak ada seorangpun yang tidak mengenal Soeharto yang memililiki kebiasaan sedikit bicara namun setiap katanya berbobot dan penuh Non Verbal communication demikian yang disampaikan oleh Yuono Suedarsono Menteri Negara lingkungan hidup dalam kabinet Soeharto yang berumur tidak sampai tiga bulan. Memang komunikasinya yang penuh simbol dan hanya orang-orang yang sudah lama berinteraksi dengannya saja yang mampu mengartikan senyum, tawa maupun marahnya Soeharto. Karena kebiasaanya berinteraksi konteks tinggi. Adakalanya ia berbicara gamblang, guyon, marah, bahkan tidak jelas antara konteks tinggi dan konteks rendah, tidak bisa dibedakan antara samar dan gamblang. Dapat disimpulkan bahwa pola Soeharto tidak konsisten karena terpengaruh oleh berbagai faktor Inkonsentrasi, ia tidak melihat siapa lawan komuniksinya, apa permasalahannya dan bagaimana mood-nya ketika itu.

Pemerintahan Soeharto berakhir pada tahun 1998, B. J. Habibie kemudian mengantikan posisinya dengan membawa tiga masalah Nasional yang membangkitkan kritik lawan politik dan Pers terhadap komunikasi politiknya, yaitu; Penanganan Kasus Korupsi Soeharto dan Kroni-Kroninya, Skandal Bank Bali, dan Masalah Timor-Timur. Satu contoh misalnya, ketika Habibie mendapat laporan tentang adanya pengakuan Rudi Ramli terkait Bank Bali melalui sepucuk surat, Habibie pun kehilangan akal sehatnya, ia pun langsung membukanya bahkan melalui asistennya ia langsung menyuruh untuk membacanya di depan seluruh anggota kabinetnya, tanpa mengeceknya terlebih dahulu.

Tindakannya yang demikian membuktikan bahwa komunikasi politiknya yang penuh spontanitas, menggebu-gebu cepat bereaksi, tanpa memikirkan resiko yang bakal menimpanya. Salah satu faktornya mungkin karena latar belakang pendidikan dan kariernya sebagai Brilliant dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Habibie memiliki tempramen yang sering meletup sehingga terkadang ia kehilangan rasionya.

Tiga orang pemimpin yang pernah mengabdi terhadap Negara sebelumnya sangat berbeda dengan komunikasi politik pemimpin yang kemudian. Dialah Abdurrahman Wahid yang keseharianya akrab dipanggil Gus Dur. Ia memiliki komunikasi yang mudah diakses oleh siapapun, tanpa curiga, sekalipun kepada orang yang baru dikenalnya. Selain itu komunikasinya terkesan guyon dan penuh anekdot. Bahkan menurut Riyyas Rasjid, seandainya berjumpa Gus Dur selama satu jam, seriusnya kurang lebih 10 sampai 20 menit saja selebihnya guyon dan ngomongi orang lain. Selain itu salah satu ciri yang dikenal dari sosok Gus Dur adalah komunkasi tebar ancaman. Dengan demikian pada saat kritis sekalipun Gus Dur tetap menggunakan komunikasi politik tebar ancaman.

Teori Fear Arrousing Comunication (FAC) mengatakan bahwa efektifitas jenis komunikasi sangat tergantung pada resepsi komunikan atau khalayak terhadap keseriusan dan kemampuan komunikator melaksanakan ancamannya. Jika salah satu atau keduanya dinilai tidak ada, FAC menjadi gertak sambal belaka, demikian itu merupakan realita yang ada pada diri Gus Dur. Meski berulang-ulang ia menggertak lawan-lawan politiknya dan dengan berapapun ancaman tetap saja lawan politiknya berusaha untuk menjatuhkan Gus Dur tetap berlanjut. Maka sejarah mencatat bahwa sidang MPR dengan agenda tunggal ”Mengadili Presiden” berjalan mulus tanpa adanya huru-hara dari manapun.

Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hampir memiliki persamaan dalam menjalankan komunikasi politiknya. Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M. A dalam buku ini menjelaskan bahwa Megawati alergi kritik, SBY tidak suka kritik. dua kata yang berbeda akan tetapi memiliki makna yang sama, namun penjelasan tersebut tidak menutup kemungkinan antara Mega dan SBY memiliki perbedaan yang sangat jauh. Namun, masalahnya pada saat buku ini terbit belumlah pada akhir kepemimpinan SBY.

Skenario panjang yang diperankan oleh Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur dan, Megawati berakhir pada SBY, selanjutnya akan dilanjutkan oleh siapa dan dari mana asalnya memang kita belum mengetahuinya, yang jelas Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M. A menyebutkan bahwa komunikasi politik yang ia anggap efektif terletak pada Soeharto karena pada saat itu Negara Stabil, pembangunan ekonomi berhasil dan, kesejahteraan Rakyat meningkat. Sedangkan komunikasi politik dari enam pemimpin yang ia dianggap tidak berhasil adalah pada kepemimpinan SBY, karena banyak komunkasi politik bangsa yang dinilai semakin brutal, tidak lagi mengenal dialog, bahkan Mahasiswa sebagai kaum Intelektual bertindak anarkis.

Kendati demikian buku yang berjudul Dari Soekarno sampai SBY Dari Soekarno Sampai SBY (Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa) patut dibaca oleh mahasiswa yang berkonsentrasi dalam bidang ilmu politik, pengamat politik, dan sejarawan yang memang fokus meneliti komunikasi politik serta juga layak dibaca oleh siapapun yang ingin menjadi wakil rakyat di masa yang akan datang.

Dengan mengunakan bahsa yang bervariatif, singkat, jelas dan mudah dipahami buku ini mampu menguak history pemimpin 60 tahun yang lalu, dilengkapi dengan berbagai analisis kritis sehingga mampu menceritakan persamaan dan perbedaan masing-masing pemimpin. Meskipun secara umum buku ini menjelaskan masing-masing karakter di antaranya pola komunikasi, sikap terhadap kritik, tegas, Law Context, marah, dendam bahkan pola tidurnya seorang pemimpin.

Akhirnya, semoga buku ini mampu memberikan sumbangsih pemikiran dan informasi mengenai enam orang yang pernah dinobatkan sebagai ”orang nomor satu di Indonesia”. Enam pemimpin yang telah lalu adalah cermin kepemimpinan masa depan, maka dari itu adalah calon pemimpin yang baik yang mau belajar dari pendahulu-pendahulunya meskipun harus berseberangan dalam hal pemikiran.

*) Liza Wahyuninto, Mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Peneliti pada Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa (LKP2M) Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang .
(Telah dipublikasikan di Koran Pendidikan)

Tidak ada komentar: