Menampik Rasa Jengah Terhadap Bangsa
Judul Buku : Kagum Pada Orang Indonesia
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Progress– Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2008
Tebal : 56 Halaman
Peresensi : Liza Wahyuninto*
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak/Hukum tak tegak, doyong berderak-derak/Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak/Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza/Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia/Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata/Dan kubenamkan topi baret di kepala/Malu aku jadi orang Indonesia.
Potongan puisi “Malu (Aku) jadi orang Indonesia” yang ditulis oleh Taufiq Ismail pada tahun 1998 di atas menunjukkan betapa kekaguman terhadap bangsa ini telah lama pudar bahkan perlahan sirna. Ada rasa malu mengakui bahwa bangsa Indonesia sebenarnya pun patut untuk dikagumi. Bahwa di balik kebobrokan yang ditampilkan oleh Taufiq Ismail dalam puisinya tersebut, masih ada ruang untuk memberikan pujian kepada Indonesia sebagai bangsa besar dan memiliki kelebihan yang belum tentu dimiliki oleh negara belahan lain di dunia ini.
Kekaguman itulah yang disorot oleh budayawan, Emha Ainun Nadjib, dalam kumpulan esainya ini. Dengan ciri khasnya yang sangat pandai dalam memilih diksi, Cak Nun menunjukkan kekagumannya terhadap orang Indonesia. Dan kekaguman yang dinyatakan oleh Cak Nun dalam bukunya ini, semuanya merupakan kekurangan yang dimiliki oleh manusia Indonesia. Cak Nun menanggap bahwa kekurangan atau cela yang ada dalam diri manusia Indonesia, itulah yang perlu untuk dikagumi.
Untuk mengetahui karakter orang Indonesia tentu dibutuhkan banyak perjumpaan dengan mereka. Mustahil mengenal sifat orang Indonesia jika tidak ada interaksi dengan mereka. (Hal. 5) Dan Cak Nun dikenal sangat dekat dengan rakyat kecil (urban), bahkan tidak jarang pula menyuarakan suara mereka yang tidak sempat didengar oleh pemerintah. Sebagai satrio piningit di era globalisasi, Cak Nun memposisikan diri sebagai penyambung lidah rakyat. Kedekatan ini pulalah yang melahirkan kecintaan besar Cak Nun terhadap manusia Indonesia, hingga berbuah pada kekaguman terhadap manusia Indonesia.
Pengajian rutin yang dilakukannya di berbagai daerah juga ikut menjadi dokumentasi dari kelahiran buku ini, hingga banyak hal yang dapat disorot oleh Cak Nun dari manusia Indonesia. “Kunjungan” Cak Nun ke negara-negara lain juga ikut menjadi oleh-oleh untuk diceritakan dalam kumpulan esai ini.
Runtuhnya rasa kagum terhadap manusia Indonesia yang diungkapkan oleh Taufiq Ismail lewat puisinya “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia”, tidak lain adalah kritik terhadap diri manusia Indonesia. Ada yang salah dalam diri manusia Indonesia atau dalam istilahnya Taufiq Ismail “orang Indonesia”. Bahwa setelah kemerdekaan Indonesia diperoleh, manusia Indonesia belum siap untuk menjadi penguasa Indonesia, hingga tidak mengherankan pada babak selanjutnya manusia Indonesia masih menjadi pekerja.
Tercatat bahwa Indonesia adalah negara paling banyak yang mengirimkan delegasinya untuk menjadi tenaga kerja ketimbang menjadi mahasiswa. Disinilah letak degradasi kebanggan terhadap Indonesia yang direkam oleh taufiq Ismail lewat puisi “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia”. Bahwa manusia Indonesia masih lebih bangga memakai produk luar negeri daripada produk hasil negeri sendiri.
Cak Nun yang sangat mengerti manusia Indonesia merespon hal itu. Baginya, itu merupakan salah satu kelebihan manusia Indonesia yang patut untuk dikagumi. Ungkapan paradok semacam inilah yang sering dilontarkan Cak Nun, dan Cak Nun menilai bahwa dengan cara inilah rasa kagum dan rasa percaya diri kepada manusia Indonesia dapat kembali terangkat. Tidak salah jika dalam kumpulan esainya ini Cak Nun memberi judul pada salah satu esainya “Bangsa Besar Tak Butuh Kebesaran”.
Cak Nun berpendapat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Kebodohan yang merata dalam kehidupan bangsa kita di semua segmen dan strata, tidak mengurangi kebesaran bangsa Indonesia. Untuk menjadi besar, bangsa Indonesia tidak memerlukan kepandaian. Bodoh pun kita tetap besar. Dengan mental kerdil pun kita tetaqp besar. Dengan modal moralitas yang rendah dan hina pun bangsa kita tetap bangsa besar. Oleh karena itu kita tidak memerlukan kebesaran, karena memang sudah besar. (Hal. 21)
Pemahaman akan “siapa” orang Indonesia sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh Cak Nun, pada tahun 1977, Muchtar Lubis berhasil mengidentifikasi lebih dari sepuluh sifat orang Indonesia. Namun kebanyakan bernada negatif. Di antaranya hasil identifikasi Muchtar Lubis yang bernada negatif yaitu, menilai bahwa orang Indonesia hipokrit, enggan bertanggung jawab atas perilakunya, bermental feodal, percaya takhayul dan tidak hemat. Sedangkan yang bernada positif yaitu orang Indonesia itu artistik, yang bermakna bahwa orang Indonesia mencintai seni.
Nampaknya hasil identifikasi yang dilakukan oleh Muchtar Lubis inilah yang kemudian dipakai sebagai tolak ukur untuk membaca apa dan siapa orang Indonesia selama ini. Wajar jika kemudian kritik berbalas selalu terjadi di negeri ini. Kritik tersebut lebih sering dilontarkan antar sesama orang Indonesia, namun ketika Negara lain yang mengkritik, mengolok atau menggunjingkan Indonesia, kita lebih banyak memilih diam. Bahkan ketika pulau Indonesia, kebudayaan Indonesia hingga pada produk yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia diklaim sebagai milik bangsa lain, kitapun tetap memilih diam.
Sikap diam yang dilakukan oleh manusia Indonesia diinterpretasikan oleh Cak Nun bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang tak butuh kebesaran. Kerendah hatian itulah yang digarisbawahi oleh Cak Nun sebagai sikap manusia Indonesia yang pantas untuk dikagumi. Dilain hal, yang patut dikagumi dari manusia Indonesia adalah sikap kerja keras. Tidak benar jika dikatakan bahwa manusia Indonesia adalah pemalas. Hal ini dibuktikan oleh Cak Nun ketika mendapati tenaga kerja Indonesia lebih disayang oleh pimpinan perusahaan di mana mereka bekerja daripada tenaga kerja dari bangsa lain. Untuk menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak pemalas, dalam salah satu esainya pada buku ini Cak Nun sengaja memberi judul “Bukan Bangsa Pemalas”.
Manusia Indonesia tidaklah harus menjadi manusia yang disegani atau bahkan ditakuti oleh bangsa lain, karena kekaguman terhadap manusia Indonesia adalah murni kekaguman akan potensi yang dimiliki oleh manusia Indonesia seutuhnya. Kehadiran buku ini cocok kiranya untuk ditampilkan sebagai perenungan bersama akan kekurangan yang dimiliki oleh manusia Indonesia untuk kemudian dijadikan sebagai kekuatan manusia Indonesia yang sesungguhnya. Karena bukanlah senjata berat atau kapal yang tangguh yang dapat melindungi bangsa ini, melainkan karakter dan jati diri manusia Indonesia untuk melindungi harga diri bangsanya.
Akhirnya, tidak perlu lagi kita mengumandangkan “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Tapi, bangga aku menjadi orang Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar